Siapa yang sejak kecil pernah bercita-cita berwiraswasta
atau menjadi pengusaha? Saya *ngacung* tidak pernah punya cita-cita di waktu
kecil jadi wiraswasta hehehe. Seingat saya dulu, banyak orang tua yang
mengarahkan mau menjadi dokter, insiyur, astronot atau menjadi guru *ssstt,
untuk menjadi guru, dulu ibu saya bilang, ga usah lah, gajinya kecil hehehe.
Saya sendiri terlahir dengan ayah seorang pegawai BUMN dan
ibu dulu pernah bekerja menjadi bidan di rumah sakit. Namun akhirnya ibu
menjadi ibu rumah tangga biasa, karena gaji minim dan lebih berfokus dengan
urusan keluarga terutama mengurus anak-anak. Keluarga besar saya sebagian ada
juga yang berdagang dan menjadi penjahit, namun karena jarang berkumpul dengan
mereka saya jauh dari bayangan berwiraswasta.
Pernah juga dulu waktu kecil saya dan adik pengen buka taman
bacaan menyewakan buku cerita, namun dilarang oleh orang tua. Mereka takut
kalau saya dan adik sudah kenal uang menjadi malas belajar. Akhirnya hingga
saya lulus kuliah, saya tidak pernah menyentuh kegiatan berwiraswasta.
Pas kelas 2 SMP hingga SMA saya bersentuhan dengan kegiatan
berdagang. Membantu nenek dan kakek saya berjualan di kios pasar dan toko di
rumah. Kelas 2 SMP, saya kulakan ke
toko grosir tempat langganan mbah saya *sebutan nenek dan kakek. Saya sering kulakan sendiri dan menjadi pengkulak paling muda, sampai pemilik
toko dan pengkulak lain hafal dengan
saya. Tapi saya melakukannya dengan terpaksa, jadi ya ga membekas dan tidak
menjadi inspirasi saya untuk menjadi pedagang.
Singkat ceritanya, saya dan teman saya kemudian memutuskan
untuk joinan berjualan baju bayi dan anak beserta kelengkapannya. Kami membagi
tugas, saya bagian pembukuan sedang teman saya penjualan. Modalnya juga joinan,
meski tidak 50 : 50.
(salah satu barang dagangan)
Kok tiba-tiba kami berdua, terutama saya memutuskan untuk
berdagang? Keinginan berwiraswata, sudah ada sejak saya mulai lulus kuliah.
Cuma saya masih bingung dan meraba-raba usaha apa yang akan ditekuni. Saya
bukannya tidak pernah mencoba. Sewaktu melanjutkan S2, saya pernah mencoba
berjualan tas, Cuma bertahan beberapa bulan saja, setelah itu beberapa tas
ngendon di dalam lemari. Setelah menikah, mencoba juga berjualan kerudung lukis
dengan suami, akhirnya sama juga, tidak bertahan lama hehehe.
Sebelum launching
perdana kami yang akan dilaksanakan minggu, 15 Juni 2014, teman saya mencoba
mewawancarai ibu dari temannya yang memiliki usaha serupa dengan kami. Bedanya
dia membuka toko perlengkapan bayi dan anak di depan rumahnya, tentunya dengan
modal dan kesiapan yang lebih besar.
Hasil dari menggali ilmu dibagikan kepada saya. Beberapa point yang didapatkan yaitu modal awal
yang dikeluarkan untuk barang dagangan sekitar 60 juta sedang untuk dekorasi
toko 29 juta rupiah. Wow, kami langsung membandingkan dengan modal awal kami
sekitar 3 juta. Jauh banget hihihi.
Selama berjualan, dia sudah pernah merasakan yang namanya di
tipu orang yaitu supplier barang
dagangan. Sekarang ini, yang
mengusahakan pasokan barang adalah anaknya yang bergabung di kepengurusan usaha
dagang, sehingga memudahkan mendapatkan pasokan baju dan keperluan bayi dan
anak import. Si ibu juga bercerita bahwa untuk mendapatkan baju import tersebut
biasanya siapa cepat ia dapat dan masing-masing dibagi kuotanya. Hm..ternyata
menemukan supplier dan mencari pasokan
barang tidaklah mudah.
Masalah balik modal dan keuntungan yang didapat, ternyata si
Ibu belum pernah menikmatinya. Uang keuntungan diputar lagi untuk menambah
modal, sehingga tidak pernah dipakai untuk memenuhi kebutuhan. Katanya
begitulah seharusnya berdagang, usahanya berkembang dengan bertambahnya barang
dagangan, bukan malah semakin habis karena dipakai untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari.
Bayangan cari tambahan untuk lebaran langsung pupus di benak
saya dan teman. Ternyata keuntungan tidak langsung dapat dinikmati kalau ingin
usaha berkembang dan bertahan lama. Pantas saja usaha saya sering mandeg
ditengah jalan, tidak tahan banting sih.
Cerita juga ditambahi oleh teman saya tentang pengalaman
ibunya yang mencoba berjualan gorengan di salah satu pusat keramaian. Modal
yang dikeluarkan untuk membeli gerobak dan peralatan masak sekitar 1,5 juta.
Awal jualan ada yang membeli meski tidak banyak, kemudian disusul oleh
pegawainya yang keluar. Akhirnya ibu teman berjualan sendiri, pernah juga laku
hingga 100 biji gorengan, tapi karena capek, tenaganya habis akhirnya
memutuskan untuk menjual gerobak dan peralatan sebesar 800 ribu. Ternyata
beberapa saat kemudian, dia melihat orang berjualan gorengan di tempat dulu
berjualan larisnya bukan main hihihi, memang belum rejeki atau kurang ulet ya.
Berdasarkan cerita pengalaman tersebut, saya dan teman
berkesimpulan, mindset kami harus
berubah. Kami tidak bisa berharap langsung balik modal dan mendapatkan
keuntungan secara instan. Ya maklumlah, kami berdua kan pegawai yang kerja
sebulan kemudian mendapatkan bayaran. Kami berdua harus siap bila suatu saat
merugi karena salah perhitungan. Hal terpenting, kami harus tahan banting dengan
kendala yang ada, keuntungan dipakai untuk mengembangkan usaha. Mungkin kami
baru bsa merasakan hasilnya dalam jangka minimal 1 tahun.
Hari minggu kemarin kami berdua sudah memulai usaha dagang
baju dan keperluan anak di alun-alun simpang tujuh Kudus, dalam acara car free day setiap minggu pagi. Meski
sempat deg-degan karena belum ada yang membeli barang dagangan kami hingga
pukul 7 pagi, akhirnya kami lega, ada juga yang melihat-melihat dan terjual 4
set baju hehehe.
Semoga usaha ini barokah. Bukankah usaha berdagang merupakan
bentuk usaha yang dicintai Rosulullah?