Selasa, 17 Juni 2014

BELAJAR BERWIRASWASTA

Siapa yang sejak kecil pernah bercita-cita berwiraswasta atau menjadi pengusaha? Saya *ngacung* tidak pernah punya cita-cita di waktu kecil jadi wiraswasta hehehe. Seingat saya dulu, banyak orang tua yang mengarahkan mau menjadi dokter, insiyur, astronot atau menjadi guru *ssstt, untuk menjadi guru, dulu ibu saya bilang, ga usah lah, gajinya kecil hehehe.

Saya sendiri terlahir dengan ayah seorang pegawai BUMN dan ibu dulu pernah bekerja menjadi bidan di rumah sakit. Namun akhirnya ibu menjadi ibu rumah tangga biasa, karena gaji minim dan lebih berfokus dengan urusan keluarga terutama mengurus anak-anak. Keluarga besar saya sebagian ada juga yang berdagang dan menjadi penjahit, namun karena jarang berkumpul dengan mereka saya jauh dari bayangan berwiraswasta.

Pernah juga dulu waktu kecil saya dan adik pengen buka taman bacaan menyewakan buku cerita, namun dilarang oleh orang tua. Mereka takut kalau saya dan adik sudah kenal uang menjadi malas belajar. Akhirnya hingga saya lulus kuliah, saya tidak pernah menyentuh kegiatan berwiraswasta.

Pas kelas 2 SMP hingga SMA saya bersentuhan dengan kegiatan berdagang. Membantu nenek dan kakek saya berjualan di kios pasar dan toko di rumah. Kelas 2 SMP, saya kulakan ke toko grosir tempat langganan mbah saya *sebutan nenek dan kakek. Saya sering kulakan sendiri dan menjadi pengkulak paling muda, sampai pemilik toko dan pengkulak lain hafal dengan saya. Tapi saya melakukannya dengan terpaksa, jadi ya ga membekas dan tidak menjadi inspirasi saya untuk menjadi pedagang.

Singkat ceritanya, saya dan teman saya kemudian memutuskan untuk joinan berjualan baju bayi dan anak beserta kelengkapannya. Kami membagi tugas, saya bagian pembukuan sedang teman saya penjualan. Modalnya juga joinan, meski tidak 50 : 50.

(salah satu barang dagangan)

Kok tiba-tiba kami berdua, terutama saya memutuskan untuk berdagang? Keinginan berwiraswata, sudah ada sejak saya mulai lulus kuliah. Cuma saya masih bingung dan meraba-raba usaha apa yang akan ditekuni. Saya bukannya tidak pernah mencoba. Sewaktu melanjutkan S2, saya pernah mencoba berjualan tas, Cuma bertahan beberapa bulan saja, setelah itu beberapa tas ngendon di dalam lemari. Setelah menikah, mencoba juga berjualan kerudung lukis dengan suami, akhirnya sama juga, tidak bertahan lama hehehe.

Sebelum launching perdana kami yang akan dilaksanakan minggu, 15 Juni 2014, teman saya mencoba mewawancarai ibu dari temannya yang memiliki usaha serupa dengan kami. Bedanya dia membuka toko perlengkapan bayi dan anak di depan rumahnya, tentunya dengan modal dan kesiapan yang lebih besar.

Hasil dari menggali ilmu dibagikan kepada saya. Beberapa point yang didapatkan yaitu modal awal yang dikeluarkan untuk barang dagangan sekitar 60 juta sedang untuk dekorasi toko 29 juta rupiah. Wow, kami langsung membandingkan dengan modal awal kami sekitar 3 juta. Jauh banget hihihi.

Selama berjualan, dia sudah pernah merasakan yang namanya di tipu orang yaitu supplier barang dagangan. Sekarang ini,  yang mengusahakan pasokan barang adalah anaknya yang bergabung di kepengurusan usaha dagang, sehingga memudahkan mendapatkan pasokan baju dan keperluan bayi dan anak import. Si ibu juga bercerita bahwa untuk mendapatkan baju import tersebut biasanya siapa cepat ia dapat dan masing-masing dibagi kuotanya. Hm..ternyata menemukan supplier dan mencari pasokan barang tidaklah mudah.

Masalah balik modal dan keuntungan yang didapat, ternyata si Ibu belum pernah menikmatinya. Uang keuntungan diputar lagi untuk menambah modal, sehingga tidak pernah dipakai untuk memenuhi kebutuhan. Katanya begitulah seharusnya berdagang, usahanya berkembang dengan bertambahnya barang dagangan, bukan malah semakin habis karena dipakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Bayangan cari tambahan untuk lebaran langsung pupus di benak saya dan teman. Ternyata keuntungan tidak langsung dapat dinikmati kalau ingin usaha berkembang dan bertahan lama. Pantas saja usaha saya sering mandeg ditengah jalan, tidak tahan banting sih.

Cerita juga ditambahi oleh teman saya tentang pengalaman ibunya yang mencoba berjualan gorengan di salah satu pusat keramaian. Modal yang dikeluarkan untuk membeli gerobak dan peralatan masak sekitar 1,5 juta. Awal jualan ada yang membeli meski tidak banyak, kemudian disusul oleh pegawainya yang keluar. Akhirnya ibu teman berjualan sendiri, pernah juga laku hingga 100 biji gorengan, tapi karena capek, tenaganya habis akhirnya memutuskan untuk menjual gerobak dan peralatan sebesar 800 ribu. Ternyata beberapa saat kemudian, dia melihat orang berjualan gorengan di tempat dulu berjualan larisnya bukan main hihihi, memang belum rejeki atau kurang ulet ya.

Berdasarkan cerita pengalaman tersebut, saya dan teman berkesimpulan, mindset kami harus berubah. Kami tidak bisa berharap langsung balik modal dan mendapatkan keuntungan secara instan. Ya maklumlah, kami berdua kan pegawai yang kerja sebulan kemudian mendapatkan bayaran. Kami berdua harus siap bila suatu saat merugi karena salah perhitungan. Hal terpenting, kami harus tahan banting dengan kendala yang ada, keuntungan dipakai untuk mengembangkan usaha. Mungkin kami baru bsa merasakan hasilnya dalam jangka minimal 1 tahun.

Hari minggu kemarin kami berdua sudah memulai usaha dagang baju dan keperluan anak di alun-alun simpang tujuh Kudus, dalam acara car free day setiap minggu pagi. Meski sempat deg-degan karena belum ada yang membeli barang dagangan kami hingga pukul 7 pagi, akhirnya kami lega, ada juga yang melihat-melihat dan terjual 4 set baju hehehe.


Semoga usaha ini barokah. Bukankah usaha berdagang merupakan bentuk usaha yang dicintai Rosulullah? 

Blog Design by Handdriati