Rabu, 13 Januari 2016

Maaf, Hanya Semangkuk Soto Cil

Kiddos
 “Gubrak” terdengar suara dentuman yang tak terlalu keras yang disusul suara tangisan Fatih yang membahana.

Ya, Kamis sore Fatih kembali terpeleset di halam depan. Saat itu, ia tengah sibuk membawa bekas kaleng cat plastic 5 kg yang diisi sedikit air. Fatih tengah membantu eyangnya menyiram tanaman. Sementara saya memperhatikan Fattah yang ikut memutar kran untuk bermain air.

Fatih, kemudian dibantu Yangti untuk bangun. Terlihat mulutnya berdarah dan air matanya mengalir, “huhuhu, Fatih gak mau gigi dicabut” isaknya.

Karena jatuh, gigi depan Fatih mungkin goyang, sehingga ia ketakutan kalau giginya akan dicabut. Saya hanya bisa meminta Fatih untuk berkumur membersihkan darah di mulutnya. Fatih baru mau mandi setelah Ayah pulang, itu pun disertai tangisan kesakitan.

Malam hari, saat ia tertidur gelisah menahan sakit, saya memandangi sambil mengusap punggungnya. Tak terasa air mata mengalir, menatap mulutnya yang bengkak dan masih mengeluarkan darah. Ya, terkadang saya cengeng. Terlebih sejak menjadi ibu, mata saya sering berkaca kalau mendengar cerita kesedihan anak-anak.

Muka Fatih Pasca Jatuh
Pagi hari, saya berhasil membujuk Fatih untuk berobat ke dokter. Pikiran saya kemudian melantur. Bagaimana nasib anak-anak yang terluka namun tak bisa ke dokter? Yang tidak ada fasilitas atau bahkan tidak ada tempat bergantung?.

Tiba-tiba saya teringat Ucil. Kenangan belasan tahun silam saat masih kuliah S1. Ucil, bukan nama sebenarnya. Bukan saya menyamarkan namanya. Tapi memang saya tak tahu namanya. Kami semua memanggilnya Ucil, entah dari mana nama itu. Seperti kesepakatan saja, Kesepakatan dari yang dipanggil nama dan si pemanggil. Usianya sekitar 9 tahun.  Kepalanya plontos dan badannya pun agak kurus.

Saya pun tak tahu asalnya dan datangnya. Tiba-tiba saja, dia sudah beberapa waktu berada di kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta Fakultas Psikologi tempat saya menuntut ilmu. Ucil pun dengan suka hati menemani mahasiswa atau mahasiswi yang lembur di kampus. Matanya tampak menyimak percakapan kami, bahkan ia ikut menimpali.

“Gak apa-apa Mbak, tidur di sini. Nanti kan kursi mejanya bisa dijadikan pembatas atau ditiduri. Jangan takut, nanti saya yang jagain” ujarnya menjawab kecemasan saya.

Saya memang sudah berkomitmen, gak mau tidur di kampus. Meski ada kegiatan sampai tengah malam. Pasti usai kegiatan saya langsung pulang kos. Bukan apa-apa, gak nyaman aja. Banyak nyamuk.

“Mbak, makan yuk” suara kecilnya memecah kesibukan kami. Beberapa orang menggelengkan kepala. Memang hanya ada beberapa mahasiswi adik kelas saya. Tak tega melihat wajahnya yang kelaparan, saya pun mengangguk dan menghentikan aktifitas.

Kami berdua menuju warung soto di depan kampus. Kulihat senyum di wajah Ucil menyapa beberapa mahasiswa yang berpapasan. Tangannya membawa uang receh yang sudah dibungkus plastik. Tak banyak kata yang kami ucapkan. Saya pun bingung memulai percakapan.

Sambil menunggu pesanan soto, saya ingin menuntaskan rasa penasaran, “Rumahmu di mana Cil?”.

“Di sekitar sini aja Mbak. Paling kalau tak bilangin, mbake yo gak ngerti” jawabnya.

“Gak kangen rumah to Cil” tanya saya lagi.

“Gak” jawabnya lagi memainkan uang dalam genggaman.

“Sama bapak ibu? Atau saudara” gali saya.

“Gak Mbak” jawabnya lagi.

“Kamu gak dicariin?” saya masih penasaran.

“Gak. Paling mereka punya kesibukan sendiri” jawabnya sambil memandang sekeliling.

“Kamu pernah sekolah Cil” tanya saya memindahkan topik pembicaraan.

“Pernah, sampai kelas 2” jawabnya.

“Gak pengen lanjut?” sambil berharap semoga Ucil masih punya semangat sekolah.

“Gak ah. Enak begini Mbak” jawabnya lagi.

“Enak begini bagaimana?” tanya saya.

“Iya, enak begini. Ngamen di bis, dapat uang buat makan. Kalau pengen tidur tinggal di kampus. Kalau sudah gak enak, ya pindah” jawabnya menutup pembicaraan.

Saya pun terdiam. Tak berani lagi melanjutkan percakapan. Wajahnya terlihat enggan melanjutkan perbincangan. Kala itu, saya tak tahu harus berbuat apa. Hanya terasa kekosongan menghampiri. Mungkin keadaan akan berbeda, jika saat ini saya bertemu dengannya. Mata saya mungkin akan berkaca-kaca. Ia tak seperti anak kecil lainnya. Tak membicarakan mainan atau film yang digandrungi. Ia justru menyimak percakapan kami.

Terbayang Ucil yang berusia 8 tahun menghadapi kerasnya kehidupan. Tak lagi dirasakan bonding dengan orang tua.Tidak, saya tak ingin menyalahkan orang tua Ucil atau siapa pun juga. Saya tidak tahu kondisi orang tuanya. Saya hanya membayangkan Ucil yang seorang diri. Bagaimana jika ia dilukai orang lain? Bagaimana saat sakit menghampiri?.

Tak lama kemudian, pesanan soto kami pun diantarkan ke meja. Kami pun menikmati soto yang tak lagi menarik buat saya.

“Mbak, aku nitip uangku ya. Soto semangkuk” ujarnya sambil mengulurkan uang recehnya.

“Gak usah Cil. Simpan saja uangnya buat makan malam” jawab saya

“Ah, ojo ngono Mbak. Aku rak penak” tolaknya.

“Udah, uangku masih cukup kok” tolak saya lagi.

Ya, Cil. Hanya itu yang bisa kuberikan padamu. Semangkuk soto dan seuntai doa, semoga engkau mampu tumbuh dan besar dengan baik. Semoga engkau dipertemukan dengan orang-orang yang baik. Semoga engkau saat ini tersenyum dan bahagia.

Rabu, 06 Januari 2016

Resolusi Abadi : Mengusir Rasa Malas


Sejak akhir tahun 2015 dan di awal 2016 bersliweran di timeline facebook dan twitter postingan teman-teman blogger. Temanya sebagian besar tentang review aktifitas di tahun 2015 dan resolusi tahun 2016. Saya sendiri, seperti biasa masih berkutat dengan rasa MALAS..hahaha. 

Usai lebaran kemarin, saya memang agak lengah membuat postingan di blog. Awalnya sih karena ada beberapa pekerjaan di kantor yang agak besar. Jadi menyita perhatian dan waktu. Sebenarnya ide tulisan banyak, tapi ya itu cuma jadi di angan-angan.

Tahun 2015 kemarin ada beberapa resolusi yang sudah saya capai. Di awal tahun, saya mendapatkan Paid Review perdana lewat postingan Bawang Bawaan Wajib Saat Liburan. Di tahun ini 2 tulisan saya pun di muat di media. Salah satunya di majalah favorit saya, Femina. Tapi sebenarnya itu adalah hasil tulisan di akhir tahun 2014 dan baru di muat di tahun 2015. Jadi bukan pencapaian 2015 sih.


Di tahun 2015, saya hanya mengirim 1 tulisan ke Femina dan sukses di tolak..hahaha. Niat mau buat cerpen cuma bertahan beberapa paragraph. Akhirnya hanya tersimpan di laptop, tak jua dilanjutkan. Mau ikut lomba cerpen pun belum menemukan ide yang menarik. Rasanya saya belum menemukan format tulisan atau data yang bisa mengaduk-aduk emosi. Tulisan terasa datar, flat begitu saja.

Soal kontes blog, di tahun ini cuma nyabet 1 GA dengan mencoba merangkum beberapa perjalanan piknik kereta api. Padahal sejak tulisan Papa Contoh Bijak Mengelola Keuangan berhasil membuat juri khilaf, saya jadi bersemangat mengikuti berbagai lomba blog. Tapi ya namanya lomba, pesaingnya kan banyak. Saya pun masih perlu banyak belajar membuat tulisan yang memikat juri dari berbagai kalangan.

Lengah posting di blog, membuat frekuensi blogwalking saya agak berkurang. Selain itu, saya seringnya jadi silent reader, lupa berkomentar di blog yang sudah dikunjungi. Berlanjut juga malas membalas komentar di blog..huahaha..lengkap sudah kemalasan saya.

Rencana di tahun 2015 pindah rumah pun urung. Ya, masih ada beberapa pembangunan yang harus dibenahi atau dilanjutkan. Mudah-mudahan tahun ini bisa ditempai. Jujur, saya lelah. Lelah dengan tekanan lingkungan. Ya, mungkin karena perhatian ya, jadi banyak yang menanyakan,”kapan rumahnya ditempati. Gak usah nunggu sempurna. Sambil jalan saja. Ntar kalau lama gak ditempati malah rusak lho dan bla..bla..”

Peran sebagai Mama pun masih jauh dari kurang. Emosi masih belum bisa dikelola. Frekuensi di dapur menjadi berkurang. Kasian Fattah, gak seperti Fatih, perhatian saya gak full buat dia. Tapi efeknya, saya lebih santai, kesantaian malah. Saya gak beban dan badan gak kurus-kurus..hihihi.

Terus resolusi 2016 apa?

Setelah memikirkan secara mendalam. Bertapa selama seminggu. Mereview perjalanan tahun 2015. Saya punya sebuah resolusi yang abadi yaitu Mengusir Rasa Malas. Keren kan? Malas itulah biang dari ketertundaan semoga bukan kegagalan resolusi saya.

Gara-gara malas, saat suntuk saya memilih nonton drama korea berulang-ulang. Semacam sulit move on dari tokohnya. Gara-gara malas, saya memilih gegoleran di kasur sambil momong Fattah. Gara-gara malas, saya cuma berimajinasi, tidak mengeksekusi. Gara-gara malas saya cuma buka medsos, dan gak menghasilkan satu tulisan pun, bahkan menulis status pun malas. Hadeh..Malas ini membunuhku.

Jadi resolusi di tahun ini dan tahun-tahun berikutnya, saya harus bisa mengusir dan mengelola rasa malas. Oke sejenak, untuk melonggarkan pikiran, kita bisa melakukan yang ingin dilakukan, tapi selanjutnya ya fokus ke pekerjaan dan kewajiban.

Hush..hush...enyah kau MALAS *sambil bersih-bersih blog

Blog Design by Handdriati