Saat di kapal menyebrangi Selat Sunda |
“Rantau Prapat” jawab saya. Selanjutnya mereka akan bertanya letak Rantau Prapat. Kenapa itu menyenangkan? Ya, karena terdengar keren saja, berasal dari sebuah tempat yang terkesan antah berantah bagi orang di luar Sumatera.
Sebenarnya, setelah pindah dari sana, saya baru mengunjungi tanah kelahiran 1 kali. Maklum, ongkos ke tanah kelahiran tidaklah murah. Biasanya Papa dan Ibu mengajak kami ke Rantau Prapat bergantian. Saya dan kedua adik saya diajak bergantian, sedang adik bungsu selalu diajak *sedihnya.
Liburan mengunjungi tanah kelahiran, merupakan liburan yang tak terlupakan. Sangat pas dengan tema arisan yang dilemparkan mbak Muna Sungkar dan mbak Wuri Nugraeni. Kala itu, liburan kenaikan kelas 2 SMP. Saya memutuskan untuk pindah sekolah di Jawa. Tentunya, setelah disugesti oleh kedua orang tua bahwa sekolah di Jawa lebih bagus dibanding daerah lain *Tak perlu dibahas.
LIBURAN DADAKAN
Sesampainya di Kudus, beberapa hari kemudian, sepupu yang sekarang sudah almarhum menawarkan mudik ke Rantau Prapat. Padahal, kami baru saja melakukan perjalanan dari Makassar dengan kapal sehari semalam dan dilanjut bis setengah hari dari Surabaya menuju Kudus. Setelah itu, kami semua muntah-muntah, diare dan demam kecuali Ibu.
Ibu dan Papa terlihat antusias, yang kemudian menawari saya untuk ikut dan mengajak adik bungsu yang berusia 3 tahun. Saya setengah hati menerima ajakan. Ya, karena liburannya dadakan. Sepupu sepertinya belum pesan tiket bis, padahal ini perjalanan jauh 3 hari 3 malam.
MENGEJAR BIS KE RANTAU
Firasat saya ternyata tepat. Saat kami menuju pool bis di Kudus, bis menuju Rantau Prapat hari itu tidak ada. Sepertinya, baru keesokan hari. Tapi rupanya, sepupu gigih. Akhirnya kami mencari bis lintas Sumatera ke Pati.
Kala itu seingat saya, kami naik mobil colt semacam angkutan menuju Pati. Sesampainya, kami memang mendapatkan bis lintas Sumatera, namun sayangnya bis ekonomi. Tahulah bis ekonomi, tempat duduk sempit disertai AC, angin cepoi-cepoi atau angin cendela.
Karena kursi penumpang yang sempit, Papa memesan 6 kursi. Saat itu yang berangkat, papa, ibu, sepupu, bulek, saya dan adik bungsu. Masing-masing dari kami mendapat kursi. Dan, berangkatlah kami lewat jalur darat menuju Rantau Prapat.
3 HARI 3 MALAM YANG SESAK
Firasat saya terus berlanjut. Selama perjalanan 3 hari 3 malam, hal yang paling saya ingat adalah sesak. Bis penuh sesak dan saya pun sesak nafas. Ternyata sesampainya di tanah Sumatera, awak bis mengambil penumpang di tengah jalan. Bangku-bangku kayu diletakkan di tengah jalan kursi penumpang, Beberapa dari mereka bahkan merokok.
Memang ini simbiosis mutualisme, bagi awak bis dan penumpang gelap. Mungkin memang sangat jarang ada bis jalur Sumatera. Atau para penumpang lebih suka mencegat bis di jalan. Mungkin lebih murah. Tapi bagi saya dan penumpang resmi, tentu tidak menyenangkan. Bis sesak melebihi kapasitas. Penumpang sudah protes, sayangnya awak bis tak menggubris.
PESTA DURIAN & UANG SAKU
Alhamdulillah, kami sampai dengan selamat. Hanya badan yang pegal setelah perjalanan 3 hari 3 malam. Senangnya saat di sana, hampir setiap hari kami pesta durian. Saudara di sana tahu, durian menjadi salah satu yang dicari di Sumatera. Yang lain, teri medan dan rebusan daun singkong buat ibu saya.
Bagi saya, hal yang paling menyenangkan lagi adalah saat bude, simbah dan om yang memberikan salam tempel. Saya belum pernah dapat uang saku sebanyak itu.
Untunglah saat pulang saya naik bis Damri dengan tempat duduk yang lebih luas dan AC yang sejati. Hanya saja, awak bis masih mengambil penumpang di tengah jalan. Memang hanya 4 orang yang duduk di belakang kursi paling belakang. Sepertinya sudah budaya awak bis lintas Sumatera di kala itu.
Apakah saya akan ke sana lagi? Jelas, saya akan berkunjung lagi. Tapi tidak dengan kondisi yang sama. Ya, iyalah, dulu saya masih muda. Kalau sekarang, saya angkat kaki. Apalagi bawa duo F. Saya pasti angkat kaki keluar dari bis. Mending nabung beberapa tahun buat naik pesawat..hihihi..
Kumpul keluarga di Medan |