Rabu, 26 Juli 2017

TANAH KELAHIRAN : LIBURAN YANG TAK TERLUPAKAN


Saat di kapal menyebrangi Selat Sunda
Salah satu pertanyaan yang paling menyenangkan yang dilontarkan oleh teman atau kenalan baru, “kamu orang mana?”.

“Rantau Prapat” jawab saya. Selanjutnya mereka akan bertanya letak Rantau Prapat. Kenapa itu menyenangkan? Ya, karena terdengar keren saja, berasal dari sebuah tempat yang terkesan antah berantah bagi orang di luar Sumatera.

Sebenarnya, setelah pindah dari sana, saya baru mengunjungi tanah kelahiran 1 kali. Maklum, ongkos ke tanah kelahiran tidaklah murah. Biasanya Papa dan Ibu mengajak kami ke Rantau Prapat bergantian. Saya dan kedua adik saya diajak bergantian, sedang adik bungsu selalu diajak *sedihnya.

Liburan mengunjungi tanah kelahiran, merupakan liburan yang tak terlupakan. Sangat pas dengan tema arisan yang dilemparkan mbak Muna Sungkar dan mbak Wuri Nugraeni. Kala itu, liburan kenaikan kelas 2 SMP. Saya memutuskan untuk pindah sekolah di Jawa. Tentunya, setelah disugesti oleh kedua orang tua bahwa sekolah di Jawa lebih bagus dibanding daerah lain *Tak perlu dibahas.

LIBURAN DADAKAN

Sesampainya di Kudus, beberapa hari kemudian, sepupu yang sekarang sudah almarhum menawarkan mudik ke Rantau Prapat. Padahal, kami baru saja melakukan perjalanan dari Makassar dengan kapal sehari semalam dan dilanjut bis setengah hari dari Surabaya menuju Kudus. Setelah itu, kami semua muntah-muntah, diare dan demam kecuali Ibu.

Ibu dan Papa terlihat antusias, yang kemudian menawari saya untuk ikut dan mengajak adik bungsu yang berusia 3 tahun. Saya setengah hati menerima ajakan. Ya, karena liburannya dadakan. Sepupu sepertinya belum pesan tiket bis, padahal ini perjalanan jauh 3 hari 3 malam.

MENGEJAR BIS KE RANTAU

Firasat saya ternyata tepat. Saat kami menuju pool bis di Kudus, bis menuju Rantau Prapat hari itu tidak ada. Sepertinya, baru keesokan hari. Tapi rupanya, sepupu gigih. Akhirnya kami mencari bis lintas Sumatera ke Pati.

Kala itu seingat saya, kami naik mobil colt semacam angkutan menuju Pati. Sesampainya, kami memang mendapatkan bis lintas Sumatera, namun sayangnya bis ekonomi. Tahulah bis ekonomi, tempat duduk sempit disertai AC, angin cepoi-cepoi atau angin cendela.

Karena kursi penumpang yang sempit, Papa memesan 6 kursi. Saat itu yang berangkat, papa, ibu, sepupu, bulek, saya dan adik bungsu. Masing-masing dari kami mendapat kursi. Dan, berangkatlah kami lewat jalur darat menuju Rantau Prapat.

3 HARI 3 MALAM YANG SESAK

Firasat saya terus berlanjut. Selama perjalanan 3 hari 3 malam, hal yang paling saya ingat adalah sesak. Bis penuh sesak dan saya pun sesak nafas. Ternyata sesampainya di tanah Sumatera, awak bis mengambil penumpang di tengah jalan. Bangku-bangku kayu diletakkan di tengah jalan kursi penumpang, Beberapa dari mereka bahkan merokok.

Memang ini simbiosis mutualisme, bagi awak bis dan penumpang gelap. Mungkin memang sangat jarang ada bis jalur Sumatera. Atau para penumpang lebih suka mencegat bis di jalan. Mungkin lebih murah. Tapi bagi saya dan penumpang resmi, tentu tidak menyenangkan. Bis sesak melebihi kapasitas. Penumpang sudah protes, sayangnya awak bis tak menggubris.

PESTA DURIAN & UANG SAKU

Alhamdulillah, kami sampai dengan selamat. Hanya badan yang pegal setelah perjalanan 3 hari 3 malam. Senangnya saat di sana, hampir setiap hari kami pesta durian. Saudara di sana tahu, durian menjadi salah satu yang dicari di Sumatera. Yang lain, teri medan dan rebusan daun singkong buat ibu saya.

Bagi saya, hal yang paling menyenangkan lagi adalah saat bude, simbah dan om yang memberikan salam tempel. Saya belum pernah dapat uang saku sebanyak itu.

Untunglah saat pulang saya naik bis Damri dengan tempat duduk yang lebih luas dan AC yang sejati. Hanya saja, awak bis masih mengambil penumpang di tengah jalan. Memang hanya 4 orang yang duduk di belakang kursi paling belakang.  Sepertinya sudah budaya awak bis lintas Sumatera di kala itu.

Apakah saya akan ke sana lagi? Jelas, saya akan berkunjung lagi. Tapi tidak dengan kondisi yang sama. Ya, iyalah, dulu saya masih muda. Kalau sekarang, saya angkat kaki. Apalagi bawa duo F. Saya pasti angkat kaki keluar dari bis. Mending nabung beberapa tahun buat naik pesawat..hihihi..

Kumpul keluarga di Medan

Selasa, 18 Juli 2017

3 SIKAP HIDUP PENGELOLAAN KEUANGAN ALA PAPA



“Mbak, bagi kiatnya donk. Gimana bisa mengelola keuangan, biar bisa bangun rumah kayak dirimu?” tanya seorang rekan kerja yang punya rencana ingin membangun rumah yang lebih luas.

“Ah, Mbak Rizka bukan gak punya uang. Cuma uangnya disimpan, gak buat beli-beli baju, tas atau sepatu” ujar seorang rekan lain pada satu kesempatan.

“Eh Mbak, gimana sih biar bisa kayak Papamu? Pensiunan tapi hidupnya santai. Gak mikirin biaya hidup” tanya seorang rekan setelah mendengar kisah keseharian Papa setelah pensiun.

Papa sudah pensiun sejak tahun 2008. Saat pensiun, semua anaknya belum menikah. Adik bungsu pun baru kelas 3 SMA. Pertengahan tahun adik no 3 menikah dan saya malah kuliah lagi.

Semua pengeluaran itu cukup mampu Papa selesaikan tanpa kesulitan. Artinya Papa memang sudah punya dana untuk menyekolahkan dan menikahkan anak. Bahkan kami kalau punya kesulitan atau butuh bantuan keuangan Papa siap support *duh, malunya.

Wah, pasti Papanya direktur ya Mbak? Atau punya usaha setelah pensiun?. Tidak, Papa saya seperti Papa kebanyakan orang tua. Hanya seorang pegawai BUMN dengan pendapatan yang sewajarnya. Hanya saja Papa punya sikap hidup pengelolaan keuangan.

Sikap inilah yang sedikitnya tertanam dalam hidup saya, yang dianggap hemat oleh rekan-rekan lain. Dalam pandangan mereka, saya jarang belanja, suka gratisan dan hemat dalam pengeluaran keluarga.

Padahal sih gak segitunya. Saya malah kadang sering diingatkan suami kalau kayaknya masih boros dalam pembelanjaan. Yang membuat boros sebenarnya sih duo F. Biasalah, minta jajan, jalan-jalan dan beli mainan.

Tapi, tetap bagi yang lain itu dianggap wajar. Wajar, karena ternyata anak-anak mereka sama saja..hahaha.

Jadi sikap hidup apa sih yang dipunyai Papa dan tertanam dalam hidup saya?

Tidak Berutang

Inilah sikap hidup pertama dan utama bagi Papa saya. Wah, berarti Papanya gak punya utang? Pernah, waktu beli rumah pertama di Bandung. Saat itu, Papa terpaksa berutang karena tidak ada orang yang dapat dimintai pinjaman.

Maklum Papa sudah tidak punya orang tua. Kakak-kakaknya pun bukan orang kaya yang punya kelebihan anggaran. Solusi satu-satunya ya pinjam di salah satu bank konvensional, dulu belum ada bank syariah.

Itu, satu-satunya catatan utang. Setelah itu, saat beli rumah di Makassar tunai. Saat beli mobil atau kebutuhan lain pun tunai. Bagi Papa saya, beli dan miliki barang sesuai kemampuan. Kalau belum mampu beli mobil, ya tidak perlu berutang.

Sikap ini membuat saya enggan untuk berutang. Saya sempat punya kartu kredit, setiap habis belanja, langsung saya bayarkan tagihan. Takut lupa. Saat membayar baju seragam TPQnya Fatih pun, langsung saya bayar tunai. Padahal ada kemudahan untuk membayar 3x. Cuma saya kurang sreg saja. Rasanya seperti beban.

Hemat Bukan Kikir

Orang tua saya itu, pasangan hemat. Tidak cuma Papa, Ibu juga hemat. Beberapa contoh hemat dalam pemakaian listrik dan air. Membiarkan lampu menyala saat hari sudah siang atau tanpa sengaja mengisi air bak mandi hingga tumpah, rasanya seperti dosa besar.

Akhirnya anak-anaknya pun terbawa suasana hemat. Tagihan listrik saya setiap bulan tidak lebih dari 200 ribu. Padahal saya menggunakan mesin air, mesin cuci dan AC. Adik saya pun berusaha agar tagihan sekitar 200 ribu.

Dalam membeli pakaian, sepatu ataupun tas tidaklah berlebih. Punya tas atau sepatu 2 saja sudah cukup banyak.

Tapi Papa tidaklah kikir. Kalau lihat pakaian sudah tak layak pakai pasti ditegur. Disuruh keluarkan dari lemari pakaian. Bahkan kalau masih dipakai, pakaian digunting dan langsung dijadikan lap..hahaha.

Membeli dan Menggunakan Barang Berdasarkan Kualitas

Meskipun hemat, bukan berarti kedua orang tua saya menggunakan barang yang tidak berkualitas. Saya ingat, saat Papa membelikan jangka untuk peralatan sekolah. Jangka yang dipilih yang kualitasnya baik. Tentu, harganya bukan yang paling murah.

Makanya saat membeli barang, saya selalu pilih berdasarkan kualitas dan kenyamanan bukan berdasarkan harga. Ada barang yang harganya cukup murah dibanding yang lain tapi kualitas cukup baik. Tapi banyak juga yang harga sesuai kualitas.

Contohnya, saat membeli sandal untuk keseharian, saya cukup puas dengan kualitas sandal seharga 70 ribu. Saya tidak memandang merk, yang penting nyaman digunakan.

Untuk masalah bra, saya pasti memilih kualitas yang cukup baik. Harganya memang tak terbilang murah. Alasannya, karena saya sudah pengalaman membeli yang murah, baru sebulan dua bulan karet sudah melar dan tidak nyaman digunakan. *ini kenapa membahas masalah underwear.

Masalah jam tangan pun, saya termasuk pemilih. Kadang juga tertarik untuk membeli jam tangan yang mumer dengan model yang unyu-unyu. Tapi setelah diperhatikan, bahan agak kasar. Kulit saya yang sensitif alias gampang gatal tidak bisa menggunakan kalep kulit atau logam yang kurang baik. Biasanya kalau saya nekat beli, berakhir “mangkrak”.

Salah satu merk jam dengan kualitas yang cukup baik menurut saya sih Alexandre Christie. Saya tertarik dengan model dan wadah kayunya. Saya dulu membelikan jam model sporty buat mantan pacar yang berubah status menjadi suami. Eh, malah dapat hadiah pernikahan adik jam logam Alexandre Christie.

Beberapa kali, saya sempat nengok koleksi jam tangan Alexandra Christie di Zalora. Kadang saya masukkan ke wishlist, siapa tahu lagi diskon. Biasanya kan ada notifikasi di email..hihihi.

Itulah 3 sikap pengelolaan keuangan ala Papa yang tertanam dan saya praktekan di rumah tangga saya. Kalau kamu, punya sikap atau kiat pengelolaan keuangan keluarga seperti apa?

Jam inceran *kode keras buat suami

Blog Design by Handdriati