Kamis, 27 Februari 2014

PENONTON PALING PINTAR


Ada yang pernah nonton pertandingan olah raga? Baik di rumah atau langsung di lapangan olah raga?

Saya bukan penggemar tontonan olah raga. Nonton pertandingan olah raga bisa dihitung dengan jari dan pasti ada alasan khusus.

Misal pertandingan bulu tangkis pas lagi ada final Indonesia lawan Cina, itupun karena Papa nyetel siaran langsung. Pernah juga datang ke stadion di Rembang, karena menemani suami liputan.

Sekalinya ke stadion, pertandingan PSIR dan Persipura berakhir rusuh. Diakhir pertandingan wasit keluar lapangan dengan pengamanan yang cukup ketat. Pasalnya Ganster, sebutan untuk pendukung PSIR tidak terima dengan beberapa keputusan wasit yang dinilai merugikan PSIR.

Kok seringnya yang rusuh pendukung atau penontonnya ya? Bukan pemainnya. Menurut analisa saya, penonton itu sering lebih terhanyut dan merasa paling pintar daripada pemain.

Saat jagoannya melakukan kesalahan, kadang mereka mengeluarkan pernyataan dan kritikan bahwa cara si pemain itu kurang tepat. Ada yang mengomentari tendangan terlalu jauh melambung, tendangannya kurang mengarah atau tidak mau mengoper kepada rekannya.

Coba kalau mereka yang terjun di lapangan, seketika kritikan tadi akan mereka telan lagi, atau malah kemampuan mereka tidak ada separonya dari pemain.

Saya sendiri pun sering berlaku demikian. Tidak sebagai penonton pertandingan olah raga sih, tapi sebagai pengamat komik dan tulisan.

Misal nih, saya pernah bilang, ke adik ipar, “saya bisa membedakan antara komikus jepang dan Indonesia. Biasanya komikus Indonesia masih kaku dalam coretan garisnya, hasilnya gambar terkesan kaku, beda dengan komikus jepang”. Padahal adik ipar saya komikus, kakak ipar yang gak tau diri, gambar bebek aja jadinya ayam..hahahaha.

Saya juga sering baca cerpen di majalah atau tulisan opini yang dimuat di surat kabar. Weh, sepertinya sederhana banget, masak saya gak bisa buat seperti itu. Nyatanya..emang gak bisa. Ternyata sulit juga beuh. Bingung dengan tulisan EYD lah, ulasan melebar kemana-mana, atau gak bisa mengembangkan kalimat.

Djenar Maesa Ayu menurut saya, salah satu penulis yang menggunakan cara penulisan yang cukup menarik *meskipun isi ceritanya hampir sama di setiap cerpen*. Misalnya dalam salah satu kumpulan cerpen di Mereka Bilang Saya Monyet, ada kisah yang diceritakan lewat sms, ada juga yang dikisahkan melalui percakapan punggung.

Ketika saya mencoba meniru, hasilnya…gak karuan, yah namanya juga produk tiruan..hehehe.

Selasa, 25 Februari 2014

DRAMA KOREA = ROMANTIS


Demam Korea saya perhatikan sudah lama mewabah di Indonesia. Bukan hanya film-filmnya yang digandrungi, gaya berpakaian dan musiknya pun disukai. 

Bila kita lihat cara berpakaian remaja, sebagian besar berpakaian dengan style korea. Dandanan wajah mereka pun ala korea, sampai saya melihat semua remaja mukanya sama. Musik pun demikian, bahkan banyak yang hafal dengan liriknya.

Saya sendiri tidak gandrung dengan korea, tapi tidak juga anti korea. Sampai sekarang saya masih menyukai drama korea, meski tidak mengikuti drama korea yang di putar di stasiun TV swasta. Sejak Fatih hadir, waktu kalau tidak kerja ya full menemani Fatih. Gak mungkin kan saya ajak Fatih nonton drama korea.

(salah satu drama korea yang saya tonton)

Kalau masalah baju korea atau musiknya, saya memang tidak mengikuti. Pertama, saya gak merasa cocok pakai baju ala korea. Artinya body saya tidak tinggi langsing seperti artis korea hehehe, lagi saya kan berjilbab.

Kedua, umur saya juga tidak terbilang muda lagi untuk mengikuti musik ataupun gaya berpakaian korea. Lagi saya merasa, kalau semuanya mengikuti gaya korea, bisa hilang donk identitas dan budaya lokal kita.

Kembali ke drama korea, menurut saya drama korea itu romantis. Apapun jenis filmnya, unsur romantis atau percintaannya masih ada.  

Aslinya saya ini kurang romantis, kadang-kadang terlalu cuek dan judes dengan suami *maafkan ya suamiku*. Untuk film dan buku bacaan saja lebih suka serial detektif dan misteri.

Nah, setelah menonton drama korea terutama genre drama romantis, entah kenapa saya jadi teringat suami. Mungkin ikut terhanyut dengan suasana romantis. Hasilnya sikap saya ke suami, bawaannya pengen sayang-sayangan hehehe..

Menurut saya sih, romantisnya drama korea ini, masih lumayan dekatlah dengan budaya di Indonesia, mungkin karena sama-sama asia. Kalau saya menonton film barat, sepertinya mereka mempertontonkan keromantisan dengan perilaku seksual yang lebih blak-blakan.

Jadi, kalau saya merasa sikap kepada suami sudah mulai garing, nah, salah satu untuk meningkatkan kadar romantis ya dengan menonton drama korea. Cuma ya itu, karena drama korea itu panjang serialnya, efek buruknya kadang saya sampai bela-belain begadang untuk menonton sampai tamat.

Tahu tidak komentar suami saya kalau saya asik nonton drama korea?. ”Cantik dan cakep gitu, operasi plastik semua Mah”. Eh, saya malah baru tau dari suami. Wah, kalau gitu dapat pasangan korea yang ganteng belum tentu anaknya ikut  ganteng donk.

Jumat, 21 Februari 2014

BE ASSERTIVE, PLEASE


(taman vertikal yang diidamkan)

Seminggu yang lalu, saya sedang jengkel. Pasalnya, rumah yang tengah dibangun, sudah sebulan lebih, mandeg, seminggu terakhir malah tanpa alasan yang jelas. Sebelumnya saya sudah mencoba berkomunikasi, alasan yang dikemukakan masih masuk akal, hujan yang mengguyur Kudus cukup deras, bahkan membuat sebagian wilayah terendam banjir.

Acara banjir sudah lewat, saya mencoba menanyakan kembali kapan akan dilanjutkan. Jawabannya  “secepatnya, begitu cuaca mendukung”. Memang sih, hujan kadang-kadang masih turun. Setelah beberapa hari Kudus cerah, saya tanyakan lagi, tidak ada jawaban. Sms tidak dibalas, HP dihubungi pun jawabannya dialihkan.

Akhirnya saya ‘mangkel’. Suami pun meminta bantuan keluarga untuk menanyakan kepada mandornya, kebetulan mandornya masih keluarga suami. Setelah di desak oleh kakak ipar, terkorek juga keterangan dari mandor. Rupanya uang yang kami setorkan sudah habis, dia juga menghadapi kendala belum menemukan material bagian atap rumah kami.

Weleh, lah kok gak ngomong terus terang. Padahal, saya sudah menanyakan berulang kali mengenai ketersediaan uang. Soal kendala atap rumah kan bisa dibicarakan. Mungkin karena masih ada hubungan saudara, jadi ada rasa sungkan untuk berterus terang.

Ini, yang paling bikin saya illfill. Kenapa gak asertif aja sih?. Asertif adalah kemampuan mengkomunikasikan perasaan, pikiran dan keinginan kepada orang lain tanpa merasa cemas atau sungkan. Teknik untuk menyampaikan tentu saja dengan menjaga dan mempertimbangkan baik dan buruknya sikap dan perilaku yang akan ditampilkan.

Jadi gak setiap kita menyampaikan sesuatu itu dikatakan asertif, kalau menyampaikannya dengan tujuan untuk menjatuhkan atau dengan cara agresif tentu tidak bisa dikatakan asertif.

Saya sih, tidak bertujuan menceritakan keburukan seseorang, hanya ingin mengambil hikmah dari kejadian itu. Coba seandainya, mandor yang membangun rumah berterus terang, masalah lebih mudah diselesaikan, saya pun tidak akan mengembangkan praduga buruk.

Memang saya tipe orang yang tidak suka berbelit-belit, lebih suka praktis dan langsung ke sasaran. Contohnya nih, jaman muda dulu, dua atau tiga tahun yang lalu *yang ini jelas mendiskon tahun* beberapa kali ada cowok yang memberikan sinyal mendekati. Saya paling males nih, kalau acara mendekati berjalan sangat panjang dan lama, kayak iklan produk makanan anak-anak.

Apa yang saya lakukan? Saya mencoba proaktif dengan menanyakan kepada cowok-cowok itu *biar kesannya banyak yang mendekati* apa yang tengah terjadi.

Ada yang menjawab, biar waktu yang menjawabnya, masih butuh proses untuk ke sana. Ya elah, lama amat sih.

Ada juga yang meminta waktu untuk mengutarakan isi hatinya pada saat yang sudah dianggap tepat. Malah ada yang nembak lewat telepon, saya bilang kalau mau jawabannya ketemu langsung saja. Pas ketemu, yaelah, saya juga yang memulai percakapan untuk membahas perasaan dia.

Kesannya malah saya yang ngotot ya?. Ya itu tadi, saya pengen segala sesuatunya lebih jelas dan gamblang. Saya gak pengen mereka-reka perasaan mereka, supaya tau saya bagaimana harus mengambil sikap.

Tapi beneran lho, gak asertif itu rugi. Nyatanya ada juga cowok yang mendekati dengan jalan ‘melipir’, gak saya tangkap maksudnya. Setelah saya mau nikah sama suami, baru terungkap kalau dia naksir sebenarnya naksir saya sejak lama. Katanya saya, gak mudeng-mudeng. Oalah, dia yang ga asertif atau saya yang tulalit ya..hahaha…

Sabtu, 15 Februari 2014

AKHIRNYA FATIH MEMANGGIL MAMAH


Beberapa waktu yang lalu, saat saya mulai rajin menulis dan memposting di blog, tantenya Fatih yang di Semarang memberi komentar untuk menuliskan proses perkembangan Fatih dari waktu ke waktu.

Setelah saya pikir matang-matang bahkan sampai mendidih, supaya bakterinya mati…hihihi, saya membenarkan dan menyepakati alasannya.  Tambahan lagi, saya ingin belajar mendokumentasikan, agar menjadi pribadi yang tertib.

Pas banget, sepulang dari kantor kemarin, saya disambut Fatih dengan panggilan “Mamah, mamah” sambil mendatangi saya.



Waduh, hati ibu mana yang tidak berbunga-bungan mendengar suara anaknya memanggil nama Mamah. Rasanya itu suara yang termerdu, karena akhirnya panggilan itu terucap, meski bisa dikatakan paling akhir.

Iya, sebelumnya Fatih lebih dulu, mampu memanggil ayah, mbah dan eyang (meski sebutan eyang belum jelas).  

Sepertinya ini dipengaruhi oleh faktor keturunan. Sepupunya Fatih, Thifa, memanggil sebutan mama setelah bisa memanggil ayah, eyang, bahkan papa, ibu dan mas.

Seharian, Fatih terus menyebut mamah dengan lembutnya, bahkan saking senangnya, kalau dia lagi diam atau meminta sesuatu, saya minta dia memanggil mamah…hehehe..

Kamis, 13 Februari 2014

KUMPUL DENGAN PENJUAL MINYAK WANGI


Pernah dengar ada ungkapan, kalau kumpul dengan penjual minyak wangi kita bisa ikutan bau wangi? Ya, mungkin siapa tahu si penjual minyak wangi kan tangannya kena minyak trus pas dekat kita, paling tidak tanpa sengaja bersentuhan dengan dia dan tralala kita ikut bau wangi juga *ngasal

Saya memang sangat suka dengan minyak wangi, sampai saya tahu jenis tingkatan minyak wangi mulai dari eu de cologne, eu de toilette dan eu de parfume. Minyak wangi saya juga berbotol-botol di meja rias, meski ga pernah rapi, tipe serampangan sih hihihi.  


(salah satu parfum di meja rias)

Tapi saya bukan mau cerita soal penjual minyak wangi kok, ini berkaitan dengan praktek teori social learningnya Albert Bandura.

Saat ini saya memang sedang getol ‘berselancar’ di dumay untuk mencari segala informasi berkaitan tentang tumbuh kembang anak, maklum sindrom ibu muda *padahal umur sudah tidak tergolong muda.

Bertemulah saya dengan beberapa komunitas yang berkaitan dengan tumbuh kembang anak. Mulai dari AIMI (Asosiasi Menyusui Indonesia), HHBF (Home made Healthy Baby Food), RFC (Room For Children),  POL (Pre School On line), NCC (Natural Cooking Club), Indonesia Homeschooler, Komunitas Montessori hingga IIDN (Ibu-ibu Doyan Nulis).

Kelihatannya komunitas yang berbeda ya, tapi semua berkaitan lho, karena untuk tumbuh kembang anak, saya berusaha memulai dari menumbuh kembangkan kemampuan dalam diri.

Kembali ke soal teori social learning yang intinya mengatakan proses belajar akan terjadi jika seseorang mengamati perilaku model dan mendapatkan imbalan atas perilakunya tersebut.

Awal  bergabung dengan komunitas, saya hanya mengamati profil group dan postingan teman-teman lain. Memperkenalkan diri saja masih malu, lama-lama saya banyak menimba ilmu dari diskusi anggota lainnya sampai saya di beberapa komunitas mulai berani memberi komentar dan meminta pendapat dari anggota lainnya.

Harapan saya dengan bergabung dengan komunitas, saya bisa belajar dan ketularan dengan kemampuan mereka. Misalnya di AIMI, akhirnya saya mampu menyusui Fatih hingga saat ini. Gabung di HHBF, selama usia setahun Fatih tidak mengkonsumsi makanan instan.

Saya berharap, bisa ketularan ‘wanginya’ mereka hingga menjadi hebat seperti teman-teman yang bergabung di komunitas.


Rabu, 12 Februari 2014

BUAH JATUH, TIDAK JAUH DARI POHONNYA


Lama tidak posting tulisan di blog, alasannya apalagi kalau bukan malas..hehehe. Kalau sudah begini, saya biasanya mentoleransi kemalasan saya pada batas tertentu, daripada memaksakan ‘mood’ yang sedang tidak baik. Setelah itu, barulah saya kembali kepada komitmen awal, sampai kapan mau dipelihara rasa malas *mumpung lagi sadar.

Saat ini saya sedang giat-giatnya mencari ilmu untuk pertumbuhan dan perkembangan Fatih, anak semata wayang. Mulai dari asupan makanan, dan perkembangan fisik, motorik, psikologis dan sebagainya. Saya terus cari ilmu, terutama di browsing di internet, gabung di group yang berkaitan tentang kesehatan dan tumbuh kembang anak hingga ikut group seputar pendidikan anak, seperti pendidikan rumah atau homeschooling/homeeducation.

Saat berselancar di dunia maya, saya tercengang dengan ilmu-ilmu yang bertebaran dan berkembang di sana. Tambah tercengang *baca kagum* lagi dengan capaian para orang tua dalam mendidik anaknya. Kok bisa ya anaknya tumbuh hebat seperti itu, dikasih makan apa ya. Contoh anak-anak yang membuat saya kagum adalah anak-anak ibu Septi Peni Wulandari, seorang ibu yang berdomisili di Salatiga.

Enes, anak pertama ibu Septi sekarang kuliah di Singapura, dia terpilih menjadi Young Changemaker Ashoka Foundation pada 2009, sebagai anak muda peduli sampah. Anak kedua bernama Ara, memiliki proyek yang diberi nama MOO PROJECT yang mengantarkan ia memenangkan Young Changemaker Ashoka Foundation 2008. Terakhir, anak ketiga bernama Elan, yang menjadi ahli robot dan sibuk dengan aktifitas magangnya agar tertular virus orang pintar.

(Fatih dan obsesinya dengan mobil)

Pikiran dan ucapan saya pertama, subhanallah..hebatnya. Semua anaknya menempuh jalur home education lho *virus pendidikan rumah ini tengah meracuni saya*. Kok bisa ya? Setelah saya menyimak lebih lanjut, kuncinya adalah keteladanan orang tua. Ibu Septi memang bukan ibu rumah tangga biasa, dia penggerak berbagai komunitas, dia pencipta berbagai macam model pembelajaran, pantaslah kalau anaknya pun tumbuh dan berkembang dengan baik dan hebat. Seperti pepatah buah jatuh tak jauh dari pohonnya, tentu saja anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik jika pohon atau orang tua juga mau tumbuh dan berkembang dengan baik.

Saya akui, saya merasa tertampar lagi dan lagi *saya sering tertampar kalau membaca biografi orang-orang yang memiliki komitmen dan aksi yang nyata*, sementara saya yang memiliki latar belakang pendidikan psikologi saja belum punya aksi nyata, Menulis tema ini membuat saya teringat dengan ucapan salah satu dosen yang diam-diam menjadi favorit saya, “orang tuanya saja ‘bodoh’ kok pengen anaknya pintar, ya susah”.

Sabtu, 01 Februari 2014

MBOK-MBOKENNYA FATIH


Dulu waktu Thifa, sepupunya Fatih main ke kudus, saya dan keluarga besar melihat Thifa sangat ‘mbok-mboken’, lengket sekali dengan mamanya. Sedikit-sedikit mama dan cari mama, jarang mau sama ayahnya. Saya pikir Thifa seperti itu karena sehari-hari sama mamanya, jadi tidak mau kalau diajak yang lain. Ternyata saya salah, Fatih pun ‘mbok-mboken’.

Saya bekerja dari jam 8 sampai jam 15.30 sampai di rumah, sehari-hari selama saya tinggal kerja, Fatih dipercayakan diasuh eyang kakung dan eyang putrinya. Awalnya saya takut kalau Fatih lebih nyaman berdekatan dengan eyangnya daripada mamanya. Oleh karena itu, saya kekeuh untuk memberikan asi, menyiapkan mpasi buatan rumah dan sedapat mungkin mengurus Fatih sendiri sesampainya di rumah. Hasilnya, Fatih benar-benar lengket dengan mamanya. Bila saya di rumah, dia jarang mau dipegang yang lain, bahkan oleh ayahnya.



Apa sih sebenarnya yang membuat Fatih lengket dengan saya?. Apakah karena saya yang mengandung dan melahirkannya?. Lengketnya Fatih dengan saya dinamakan kelekatan atau istilah asingnya attachment. Mc. Cartney dan Dearing mengartikan kelekatan adalah suatu ikatan emosional yang kuat yang dikembangkan anak melalui interaksi dengan orang yang mempunyai arti khusus dalam kehidupannya, biasanya orang tua. Seorang anak dikatakan lekat jika memiliki kelekatan fisik dengan seseorang, menjadi cemas ketika berpisah dengan figur lekat dan menjadi gembira ketika figure lekat kembali dan berorientasi terhadap figure lekat seperti berusaha menarik perhatian.

Semua ciri-ciri diatas memang dimiliki Fatih terhadap saya, kalau saya dirumah dia selalu ingin menempel, ketika saya tidak nampak, dia akan mencari saya di setiap sudut rumah dan selalu mencoba menarik perhatian. Ketika saya mencari informasi lebih jauh lagi tulisan Eka Ervika dari Universitas Sumatera Utara Fakultas Kedokteran, ternyata masa kritis bayi adalah dua jam pertama setelah dilahirkan. Hasil penelitian menunjukkan kontak yang dilakukan ibu dengan bayi selama 30 menit setelah melahirkan memberikan mendasar pada anak dan meningkatkan 50% perhatian ibu kepada anaknya. Mungkin inilah yang menjadi dasar perlunya inisiasi menyusui dini (IMD) *sayangnya saya tidak berhasil melakukannya setelah melahirkan Fatih..hiks..*

Pernah seorang teman mengingatkan agar saya lekatnya Fatih tidak berubah menjadi ketergantungan. Eh, rupanya beda lho, antara kelekatan dan ketergantungan. Bahkan kelekatan memberi manfaat. Kelekatan yang aman akan membawa pengaruh positif bagi kompetensi sosialnya. Anak lebih mampu membina hubungan persahabatan yang intens, interaksi yang harmonis, lebih responsif dan tidak mendominasi. Kalau dipikir-pikir, Fatih juga memiliki keinginan mandiri, diantaranya diia sering ingin makan sendiri, tidak mau disuapi dan memilih baju yang ingin dikenakan.

Lantas apakah setiap ibu merupakan obyek lekat si anak? Ternyata tidak, anak biasanya memilih figur yang lebih responsif terhadap kondisi anak. Kalau ibunya cuek saja, dia mungkin akan lebih memilih ayahnya, eyangnya atau bahkan pengasuhnya. Seyogyanya sih baik ayah atau ibunya harus responsif terhadap anaknya, karena tugas mengasuh anak itu bukan hanya pada ibunya, tetapi ayah juga berperan serta. Kalau urusan mengandung, melahirkan dan menyusui memang sudah kodrat seorang ibu, tapi ganti popok, memandikan dan menyuapi anak, bisa kan dikerjakan Ayah. Saya rasa dalam ajaran agama juga berbagi tugas rumah tangga dianjurkan, Rosul aja mau menjahit pakaiannya sendiri kok.

Blog Design by Handdriati