Kamis, 28 Desember 2017

LIBURAN AKHIR TAHUN, KHITAN SAJA

Tanggal merah di bulan Desember tahun ini sungguh mengasikan. Gimana tidak, 2 kali libur di hari Senin. Ditambah ada cuti bersama ditanggal 26. Sungguh menggoda.

Termasuk saya tergoda untuk memanfaatkan libur 25 dan 26 untuk menawari Fatih khitan di Jum’at malam atau malam Sabtu. Perhitungan saya, Sabtu dan Minggu Ayah libur. Sedang saya, hari Minggu, Senin dan Selasa libur. Total waktu saya dan suami menemani Fatih bisa 4 hari.

Makanya, saat tema arisan blog Gandjel Rel ke 18 Liburan Akhir Tahun, saya agak speechless. Lah wong tidak merencanakan liburan dan hingga saat ini, liburannya masih di rumah. Tapi yo rak opo-opo. Mari bercerita apa adanya buat Mbak Uniek dan Mbak Novia Domi.

Lebih Awal Lebih Baik

Salah satu efek menonton Upin Upin, saya tidak perlu memperkenalkan tentang khitan secara langsung. Beberapa kali Fatih sempat menyebut soal khitan dengan kata sunat.

Awalnya sih gara-gara dia salah menggunakan kata sunat untk aktifitas imunisasi. Usai percakapan itu, saya jadi kepikiran untuk menawarkan Fatih khitan.

Singkat cerita, akhirnya Fatih mau dengan beli sepeda sebagai kompensasi. Sudah lama dia memang minta belikan sepeda baru, karena sepedanya yang lama sudah kecil.

Saya pikir lebih awal lebih baik. Mumpung mau dan belum teracuni dengan gambaran khitan yang menyeramkan. Lagian Fatih bermasalah dengan lubang pipis. Lubang pipisnya kecil, mungkin solusinya dengan khitan.

11 12 Dengan Mama

Setelah Fatih mau, saya segera cari informasi tempat khitan ke beberapa teman kantor yang anaknya sudah dikhitan. Setelah mantap dengan dokter Kamal di daerah Peganjaran, saya ajak suami plus duo F untuk daftar Jum’at malam.

Sehari sebelumnya, teman kantor sempat colek saya dalam video yang dia share. Video tentang ketakutan anak saat dikhitan. Saya sih cuma mesem saja. Yah, saya sudah siap kalau Fatih melarikan diri saat khitan. Saya sudah menyiapkan suami untuk mendampingi Fatih selama khitan..hahaha.

Iya lah, kalau urusan begini memang wilayahnya Ayah termasuk saat anak imunisasi dan Fatih operasi Hernia. Saya cemen lah urusan begini. Bisa nangis lihat anak disuntik. Wong, saya saja takut jarum suntik.

Seperti yang sudah saya dan suami duga, Fatih berani di awal, begitu suntik bius dia langsung teriak dengan keras. Padalah pas imunisasi cuma mengernyitkan kening.

Usai suntik bius lokal, dia keluar ruangan dan menunggu sekitar 15 menit agar bius mulai bekerja. Selama jeda dokter mengobrol dengan suami yang ternyata masih ada hubungan keluarga. Sepupu 3x lah sama pak dokter.

Masuk kembali ke ruang dokter untuk tindakan, jeritan Fatih terdengar lebih panjang. Padahal ya sudah dibius, mestinya tidak sakit kan. Tapi saya maklum, 11 12 lah sama saya, yang saat operasi sesar teriak-teriak hanya untuk melampiaskan ketegangan...hahahaha...

Keluar dari ruangan terbukti, Fatih tidak lagi menangis dan masih bisa pakai celana dalam. Jalannya juga biasa saja. Efek obat biusnya masih ada.

Masa Pemulihan

Sesampainya di rumah, Fatih mengganti sarung dengan celana dalam. Tapi tengah malam, dia mulai mengaduh kesakitan. Rupanya efek obat bius habis dan saya mengganti celana dalam dan celana panjang dengan sarung. Sepanjang malam Fatih menekuk kakinya dan berakhir dengan sarung tersingkap hingga ke perut, terbuka deh semuanya.

Keesokan hari, dia sama sekali tidak mau terkena air dan memilih memakai sarung hingga saat ini. Senin pagi sudah kontrol dan perban dibuka. Perawat memberi salep dan obat untuk dipakai di rumah. Sayangnya Fatih hanya mau pakai salep saat sudah tidur. Biar tidak terasa sakit, alasannya.

Hal yang menyenangkan buat Fatih sih, dapat amplop banyak. Bisa buat beli sepeda dan mainan. Mamanya gak perlu keluar uang lagi..hihihi. Untuk khitan, berulang kali dia megucapkan sugesti kalau khitan untuk kesehatan dan kebersihan, persis dengan doktrim Mamahnya..hihihi.

Alhamdulillah liburan akhir tahun ini bisa dimanfaatin untuk khitanan Fatih, meski tanpa kemeriahan apapun. Saya memang tidak mengadakan pesta khitan, karena saya baca tidak ada tuntunannya plus dana digunakan untuk biaya sekolah dasar Fatih.

Mudah-mudahan menjelang tahun baru, Fatih sudah bisa pakai celana dalam dan celana panjang supaya bisa liburan tipis-tipis. Saya sudah gak sanggup kalau ngendon di rumah. Mama butuh liburan....

Senin, 25 Desember 2017

Kisah Ibu dan Aku



“Mbak, ikut lomba blog tema Ibu yuk. Ntar tulisannya mau dibukukan lho” ajak adek ketiga saya.

“Mbak, ikut lomba IG. Cukup posting foto Ibu, disertai caption cerita tentang Ibu” ajak adik ketiga di lain kesempatan.

Jawaban saya selalu, “Ntar lah, kalau sempat. Lagi banyak kerjaan nih”.

Pada akhirnya saya selalu melewatkan lomba itu. Bentar, sejujurnya saya berusaha menghindari lomba dengan tema itu.

Tapi namanya takdir, sebisa apapun kita menghindarinya, dia tetap akan menghampiri. Seperti kisah Nobita, yang tahu takdirnya akan ditabrak kendaraan. Dia menghindari jalan darat dan selalu memakai baling-baling bambu saat bepergian. Ternyata, takdir tetap berjalan, Nobita akhirnya ditabrak pesawat..hahaha..

Analogi ini terjadi pada saya. Yah tema arisan blog Gandjel Rel kali ini adalah Ibu. Duh Mbak Chela dan Mbak Noorma membuat saya baper. Makanya, saya baru buat tulisan sekarang. Mau mangkir atau minta ganti tema gak mungkin kan?

Tidak Dekat dan Tidak Jauh

Kenapa saya hindari? Hubungan saya dan Ibu, tidak lah dekat. Tapi tidak bisa dikatakan jauh juga. Saya hanya merasakan kurang adanya kelekatan dengan Ibu. Terasa aneh saja, ketika Ibu tiba-tiba mengelus kepala. Atau merasa kangen curhat dengan Ibu.

Kok bisa seperti itu? Bukan, bukan karena kami sering berantem. Bukan juga karena perbedaan pendapat. Lantas? Jawabannya simple, karena kuantitas, intensitas pertemuan dan komunikasi kami minim.

Sejak kelas 2 SMP, saya tinggal di Kudus, sementara keluarga berada di Makassar. Jaman dulu, ongkos telepon mihil. Kalau mau telepon, numpang telepon kantor. Kebetulan, saat SMP, rumah di Makassar belum ada telepon.

Kondisi seperti itu, membuat komunikasi saya dan Ibu hanya seminggu sekali bahkan bisa sebulan sekali. Papa lah yang lebih sering telepon. Angkutan publik juga mahal, makanya saya paling banter ketemu Ibu hanya setahun sekali.

Terbiasa Sendiri

Tahun 2008, barulah kami berkumpul kembali. Papa sudah pensiun dan memilih Kudus untuk menghabiskan masa tua. Ibu dan Adik terkecil pun tinggal di Kudus. Pelan-pelan hubungan kami terajut. Meski kemudian, saya melanjutkan kuliah di akhir tahun 2008.

Setelah bertahun-tahun berpisah, di masa dewasa saya bisa pulang ke rumah. Berjumpa dengan Ibu dan Papa. Tapi bertahun-tahun jauh dari orang tua membuat saya menanamkan prinsip, saya harus kuat dan mandiri.

Keadaan itu membuat saya kurang terbuka dengan Papa dan Ibu. Ketidak terbukaan ini sering dikeluhkan oleh Ibu dan Papa. Saat adik-adik bercerita tentang kesulitan atau ganjalan yang mereka rasakan. Saya memilih diam. Bukan apa-apa, saya terbiasa menyelesaikan sendiri. Saya terlanjur terbiasa sendiri.

Nilai Ibu Tak Berkurang

Semua pengalaman saya, tidak membuat nilai seorang Ibu berkurang sih. Apalagi setelah saya menjadi Ibu. Saya semakin paham dengan segala perjuangan Ibu. Kehamilan yang bagi sebagian besar Ibu tidaklah mudah, termasuk saya. Selama 4 bulan berjuang menahan mual dan bersikeras tak mau rawat inap, meski muntah berlebihan.

Proses kelahiran yang mempertaruhkan nyawa yang dilanjutkan menyusui dan mengurus bayi 24 jam. Begadang beberapa malam, lapar setelah menyusui dan cemas jika anak sakit.

Saya jadi paham, saat kecil ibu kerap emosi dengan kelakuan kami, saya dan adik-adik. Mengasuh 4 orang anak, tidak lah mudah. Saya 2 saja belum ingin nambah.

Pengorbanan Ibu yang paling besar menurut saya adalah keluar dari pekerjaan. Dulu saya sempat heran dengan kebetahan ibu mengurus kami berempat dan jarang sekali keluar rumah. Rizka kecil juga sempat bertanya, “Ibu tidak ingin kerja lagi? Kok bisa betah sih di rumah?”.

Hingga sekarang pun, Ibu masih menjadi Ibu bagi saya. Keputusan untuk tetap bekerja, membuat saya harus menitipkan duo F kepada Ibu dan Papa. Meskipun ada asisten rumah tangga, tetap Ibulah yang sebagian besar mengurusi mereka terutama Fatih yang sempat berganti ART berkali-kali.

Jadi hubungan saya dengan Ibu, agak unik..hihihi.. Bagi saya sih meski kedekatan saya dan Ibu tidak seperti adik-adik, tapi saya tetap berutang banyak dan hingga akhir seluruh harta yang saya punya tidak bisa membayar segala yang sudah ibu lakukan.

Untuk duo F, saya ingin menjadi Ibu yang ada dan dekat untuk mereka. Meski bekerja, bonding tetap saya jaga. Saya tetap Full Time Mother buat mereka.

Mumpung masih hari Ibu, mari tetap berupaya menjadi Ibu terbaik buat mereka dengan semua keterbatasan yang kita punya. Semua Ibu pasti menyayangi anaknya.

Minggu, 03 Desember 2017

Berkat Traveloka #JadiBisa Traveling Bersama Duo F

Bermain di Pantai

Tahun 2008 saya ditugasi seorang teman kerja untuk membelikan buku The Naked Traveler 1. Buku itu buat kado ulang tahun pacar rahasia saya. Ya, saya dulu memang merahasiakan pacar saya, hingga teman 1 kantor tidak tahu kalau kami berpacaran..hahaha.

Terpengaruh oleh rekomendasi teman, saya membeli 2 buku, 1 untuk saya pribadi. Setelah tuntas membaca bukunya dalam semalam, saya menyesal. Iya, saya menyesal waktu kuliah tidak jalan-jalan. Menyesal, hingga sekarang saya baru pernah mengunjungi Medan, Rantau Prapat, Jakarta, Bandung, Kudus, Semarang, Solo, Yogya, Makassar dan Bali. Lebih menyesal lagi, sebagian besar tempat itu saya kunjungi, karena saya sempat berdomisili di sana. 

Buku yang membuat menyesal

Trinity, si Embak kantoran yang sekarang jadi penulis buku dan penulis blog telah mengunjungi hampir semua bagian Indonesia dan berpuluh-puluh tempat manca negara. Passionnya memang jalan-jalan. Dia kerja agar bisa jalan-jalan. Kenapa bisa passionnya jalan-jalan? Karena buah tak jatuh jauh dari pohonnya *tepat gak sih peribahasa ini.

Sejak kecil, orang tua Trinity selalu memberikan hadiah jalan-jalan. Saya rasa, kebiasaan jalan-jalan itulah yang menumbuhkan passion Trinity. Bangkit dari penyesalan, saya bertekad untuk lebih sering membawa buah hati jalan-jalan. Duo F jangan sampai seperti Mama, kurang banyak dan kurang jauh pikniknya..hahaha.

Bukan Semata Balas Dendam

“Pada usia 0-7 tahun, fitrah belajarnya adalah bermain bersama alam. Anak-anak sering dibawa bercengkrama dengan alam” jelas ibu Peni Septi Wulandani founder Ibu Profesional pada Seminar Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus, Kamis 20 Agustus 2015.

Baca : Tertampar Di Seminar 2

Penjelasan itu semakin menguatkan tekad saya untuk sering mengajak duo F jalan-jalan mengenal alam sejak bayi. Kemudian pada 05 Nopember 2017, tekad saya lebih kuat lagi usai mengikuti Worskhop Grafis Anak di Yogyakarta.

“Dasar dari perkembangan kognitif adalah kekayaan wawasan. Anak yang aktifitasnya hanya di dalam rumah, tentu wawasannya juga seputar rumah. Hal ini berbeda dengan anak yang sering diajak keluar. Semakin sering bercengkrama dengan dunia luar, semakin kaya wawasan dan perkembangan kognitif semakin baik” kurang lebih seperti itulah rangkuman materi Ibu Fadila, praktisi Grafis Anak yang saya tangkap. 

Belajar mengenal rasa air sungai
Jadi bukan semata balas dendam, yang membuat saya bertekad untuk sering mengajak duo F traveling. Manfaat traveling untuk mereka berdualah yang menjadi prioritas agar tumbuh kembang mereka optimal.

Traveling Sesuai Passion

Saat usia 1,5 tahun, Fatih sangat tertarik dengan kereta api. Hampir seluruh barang miliknya berbau kereta api. Mulai mainan, baju, buku, tas hingga saat mencari sekolah, dia minta yang ada kereta apinya *jadi teringat Totochan.

Baca : Terpukau Orang Di Balik Toto Chan

Di balik jendela kereta Kalijaga

Kereta apilah yang sebagian besar menjadi tema traveling kami kala itu. Mulai dari yang terdekat mendatangi Lori, kereta tebu di Pabrik Gula Rendeng Kudus. Dolan ke Lawang Sewu Semarang yang memiliki gerbong kereta api tak terpakai. Mengejar kereta di stasiun-stasiun Grobogan usai menghadiri resepsi pernikahan seorang teman. Bertandang ke Museum Kereta Api Ambarawa dan alhamdulillah terwujud juga menaiki kereta Kalijaga Semarang-Solo.

Baca : Mengejar Kereta
Baca : Mengejar Kereta Di Museum Kereta Api Ambarawa
Baca : Berburu Kereta Kalijaga Semarang - Solo

Berbeda dengan Fattah. Pada usia 2,5 tahun, dia baru menunjukkan ketertarikan. Fattah lebih tertarik dengan binatang terutama yang berbadan besar. Koleksi mainannya berbagai macam binatang yang ada saat ini, hingga dinosaurus yang sudah punah. Obsesinya adalah naik Gajah. Untunglah dia tidak ingin naik Macan atau Singa.

Jadilah kami mencari informasi, kebun binatang yang menyediakan wahana naik Gajah. Yogyakarta tujuan kami. Hanya saja, kami masih mencari waktu libur untuk ke sana. Sebagai permulaan, kami kerap mengajak Fattah melihat berbagai hewan peliharaan dan hewan ternak di lingkungan sekitar. Mulai kucing, anjing, ular, ayam, kambing, kerbau dan sapi.

Saat mengantarkan Adik ke stasiun Tawang Semarang, kami pun memanfaatkan untuk berkunjung ke Cimory. Fattah sangat suka bereksplorasi di dunia peternakan. Ada kambing, sapi, kelinci, rusa, ikan, burung dan kura-kura di sana. 

Replika Gajah Purba

Selain itu, kami pun mengenalkan museum purbakala di Patiayam Kudus. Ada replika Gajah Purba dan beberapa tulang yang ditemukan di Pati Ayam. Kebetulan saat itu ada Pameran Arkeologi. Jadilah ada beberapa booth untuk bermain dan pepotoan.

Barulah pada Sabtu 04 Nopember 2017, keinginan Fattah terlaksana. Sembari saya harus ke Yogyakarta untuk mengikuti Workshop Grafis Anak pada hari Minggu, hari Sabtu kami agendakan mengajak Fattah ke Kebun Binatang Gembiraloka dan mewujudkan keinginannya menaiki Gajah.

Tercapai juga cita-citanya

#JadiBisa dengan Produk Aktivitas dan Rekreasi dari Traveloka

Traveling yang kami lakukan, target utamanya adalah duo F. Destinasi kami pastilah wisata yang ramah anak. Bagi saya dan suami, senyum dan binar mata mereka saat traveling merefresh pikiran kami dari rutinitas yang dijalani.

Kami mengambil waktu weekend untuk traveling. Dulu saya pernah traveling di hari kerja, gara-gara itu reward dari instansi saya bekerja tidak keluar hiks. Makanya sekarang saya kapok, yah sampai saat ini kebijakan instansi hanya boleh cuti 2 hari dalam 1 bulan. 

Kehabisan tiket, naik gerbong yang ada saja
Traveling saat weekend kendalanya adalah ramai. Wajar lah, sebagian orang tentu mengambil waktu weekend buat jalan-jalan. Antrian mengular di suatu obyek wisata adalah pemandangan yang biasa. Sayangnya duo F masih dalam taraf belajar antri.

“Mah, kok lama banget sih?. Masuknya kapan?” biasanya itulah keluhan dan pertanyaan yang keluar dari bibir mereka ketika harus antri di pintu masuk.

Pengalaman mengantri memang menjadi sarana pembelajaran yang baik untuk duo F. Tapi kalau antrinya luar biasa lama, tentunya waktu kami habis untuk mengantri. Masuk wahana, mood duo F pun sudah berganti bete. 

Tampilan halaman Traveloka

Setelah download aplikasi Traveloka, saya baru tahu ada produk Aktivitas dan Rekreasi. Selama ini saya menggunakan produk pemesanan hotel di Traveloka.

Produk Aktivitas dan Rekreasi menawarkan berbagai pilihan eksklusif untuk sejumlah tempat wisata dan aktivitas di Indonesia dan mancanegara. Kita dapat memesan tiket masuk, voucher makan atau tur wisata di suatu daerah.

Caranya mudah, tinggal klik produk Aktivitas dan Rekreasi di Traveloka, kita akan disuguhi informasi tempat wisata terpopuler serta tempat wisata pilihan Traveloka di Indonesia dan Mancanegara. Kita juga bisa memilih nama destinasi atau wisata yang dituju.

Pilihan Aktivitas Populer dan Tempat Wisata

Jika belum memiliki tujuan tempat wisata tertentu, kita bisa klik wilayah yang ingin dituju, misal destinasi tujuan saya berikutnya Bandung. Usai klik Bandung, Traveloka memberikan informasi berbagai aktivitas, petualangan seru dan hiburan di Bandung. Tak hanya itu, ada berbagai santapan lezat pilihan Traveloka serta tawaran tur menjelajahi sudut-sudut menarik di kota Bandung.

Setiap tawarannya selain harga tiket, voucher atau harga paket wisata juga dilengkapi ringkasan dan keterangan tempat wisata. Detail aktivitas seperti jam pengunjung, transportasi menuju obyek wisata hingga target wisata juga diberikan. Hal terpenting lainnya buat saya adalah ulasan tamu dan foto tempat wisata sehingga membantu saya memutuskan untuk memesan tiket wisata.
Lengkapnya informasi yang disuguhkan

Dengan informasi lengkap semacam itu, saya tidak akan salah memilih tempat wisata yang cocok dengan duo F. Segi waktu jelas sangat efektif, tidak perlu  menghabiskan waktu untuk antri saat membeli tiket.

Duh, kalau sudah seperti ini, tidak ada alasan lagi untuk tidak traveling hihihi.. Saya #JadiBisa dengan Traveloka mewujudkan rencana traveling berikutnya bersama suami dan duo F. Rencana traveling saya berikutnya sih Bandung. Saya ingin mengenalkan dan menceritakan tempat masa kecil saya kepada duo F.

“Dulu Mama tinggal di Bandung. Tapi belum pernah sih ke sini. Hahahaha..” sambil tertawa getir.

Keterangan : Mari sejenak menikmati traveling ke Museum Purbakala Patiayam bersama Duo F


Selasa, 28 November 2017

KENANGAN DENGAN PAK JARNO ANTARA SENANG BERCAMPUR MALU


Sabtu, 25 Nopember adalah Hari Guru Nasional. Selain orang tua, guru adalah urutan selanjutnya yang memiliki andil yang besar dalam perjalanan hidup saya. Andil guru, lebih dari ¾ umur saya. Bahkan hingga saat ini, beberapa diantaranya masih berhubungan dengan baik.

Mungkin itulah yang mendasari mbak Relita dan Mbak Yuliarinta mengambil tema Pengalaman Berkesan Bersama Guru untuk periode Arisan Blog Gandjel Rel ke 16.

Flashback ke kenangan berpuluh-puluh tahun yang lalu dengan guru, sangat lah banyak. Mulai TK hingga pendidikan Magister Profesi. Karakter guru yang beragam, tentunya memunculkan pengalaman yang beragam. Pernah ada beberapa pengalaman mengecewakan, namun pengalaman indah lebih banyak.

Pengalaman mengecewakan, sebatas hanya pengabaian dan merasa kurang di dengar dan kurang dianggap. Yah, apalah saya yang kecerdasannya biasa saja dibanding dengan teman sekelas yang selalu jadi juara. Saat saya menyampaikan sesuatu tidak dianggap, namun ketika sang juara yang menyampaikan dengan isi yang sama langsung ditanggapi *duh sakitnya tuh di sini.

Kenangan indah lebih banyak lagi. Dongeng di saat guru Diniyyah terlambat datang atau berhalangan hadir. Guyonan, gara-gara tidak bisa bahasa Jawa. Konsultasi di luar kuliah serta pelatihan gratis yang diberikan saat duduk di bangku kuliah.

Namun, kenangan yang tidak pernah terlupa adalah kenangan tentang Pak Jarno, guru Matematika saat SMP. Kenangan menyenangkan sekaligus memalukan dalam satu waktu.

Matematika Yang Menyenangkan

Bagi sebagian orang, Matematika mungkin pelajaran yang ditakuti. Tapi saat SD dan SMP, Matematika bagi saya pelajaran yang cukup menyenangkan. Beberapa kali saya malah mengutak atik rumus. Rumus yang paling saya ingat, rumus pohon faktor.

Saat SD, beberapa teman bahkan mendekat saat pelajaran Matematika. Menjelang SMP, saya barter saat pelajaran Matematika. Teman saya membacakan soal, nanti saya membantu dia mengerjakan soal. Kenapa begitu, karena mata saya sudah minus, tapi saya enggan periksa mata..hahaha. Setelah pakai kacamata, saya tidak bergantung lagi dengan teman.

Ulangan Mendadak

Sesuka-sukanya saya dengan Matematika, kalau ada ulangan mendadak tetap saja menakutkan. Lah, belum belajar dan memang belajar hanya saat ada PR atau ulangan..hihihi.

Seperti di suatu pagi saat pelajaran Matematika. Pak Jarno, masuk ke kelas seraya berkata,” Keluarkan kertas selembar, hari ini ulangan harian”.

“Haaaa? Kok mendadak pak?” sontan seluruh kelas protes.

“Saya memang mau mencek, penguasaan kalian dengan materi-materi kemarin. Tidak ada protes. Mau tidak mau. Suka tidak suka tetap ulangan” tegas Pak Jarno.

Jadilah, dengan persiapan ala kadarnya saya pun mengikuti ulangan dengan pasrah dan cemas dengan hasilnya.. Kadarnya, semalam tidak belajar sehingga hanya mengandalkan ingatan semata,

Senang Bercampur Malu

Beberapa hari kemudian, jam pelajaran Matematika, jumpa lagi dengan Pak Jarno yang membawa setumpuk kertas ulangan. Pembagian hasil? Ternyata bukan. Pak Jarno membagikan kertas ulangan yang belum dikoreksi untuk dibagikan ke seluruh anggota kelas.

“Hari ini, soal ulangan kemarin akan dibahas. Kalian mengoreksi hasil ulangan teman. Jangan sampai ada yang pegang kertas ulangannya sendiri. Setelah itu, saya akan panggil satu persatu nama kalian. Teman yang mengoreksi silakan membacakan nilai hasil ulangannya” jelas Pak Jarno.

Usai soal ulangan dibahas penyelesaiannya. Pak Jarno pun memanggil nama kami satu persatu. Saya terus terang deg-degan dengan hasilnya. Karena sedari tadi baru Khamdani yang nilainya di atas 7, sedang yang lain di bawah 6.

“Rizka Alyna” suara Pak Jarno terdengar menggelegar di telinga saya yang degub jantung berdebar lebih kencang karena cemas.

“Tujuh Pak” terdengar suara teman sekelas menyebutkan nilai ulangan.

Aah, deg-degan saya berganti dengan perasaan lega yang membuncah. Semacam ada balon yang membesar di dalam dada dan perasaan hangat yang menyelubungi. Sesaat saya sibuk dengan rasa syukur. Saya lupa dengan sekelilingnya yang mulai riuh usai Pak Jarno menyebutkan sebuah nama.

“Sapto. Sapto, siapa yang pegang punya Sapto” tanya Pak Jarno.

“Eh, kamu kan pegang punya Sapto. Ditanya tuh nilainya” senggol teman saya.

Ah, iya saya lupa kalau nama Sapto dibelakang nama saya. Saya jadi gelagapan dan segera menyebutkan nilai Sapto. Tapi dasar saya hobi melamun. Usai menyebutkan nama, saya masih melanjutkan lamunan, kembali tak perduli dengan sekeliling.

“Eh, kamu ditanya Pak Jarno lagi tuh” senggol teman saya lagi.

Tanpa pikir panjang, karena pikiran belum move on. Suara Pak Jarno, yang diterima di otak saya, “Punyanya siapa tadi Mbak?”.

Sontak, dengan suara lantang dan mantap, “SAPTO Pak”.

Sedetik kemudian, saya disambut oleh keriuhan dari seluruh keras termasuk suara tawa pak Jarno yang menggelegar.

Saya kebingungan dan menatap teman sebangku,”Loh, kenapa to?”

“Pak Jarno, tanya kamu mikirin siapa Riz” jelas teman saya, antara geregetan dan geli.

OMG *gaya anak sekarang. Astaghfirullah, saya langsung menunduk dan menutup muka. Malunya itu lho. Malu dengan Pak Jarno, malu dengan teman sekelas dan terutama malu dengan Sapto. Sepanjang jam pelajaran, saya terdiam, bingung harus bersikap saat nanti melihat senyuman teman berikut cie-cieannya. Terutama saat berhadapan dengan Sapto.

“Beneran mikirin aku juga gak apa-apa” respon Sapto singkat sambil tersenyum saat saya menjelaskan dan meminta maaf.

Aih, muka saya semakin memerah karena bertambah malu. Pengalaman itu hingga sekarang membekas dan membuat saya tidak pernah melupakan Pak Jarno berikut Sapto..hahaha.

Blog Design by Handdriati