Senin, 25 Desember 2017

Kisah Ibu dan Aku



“Mbak, ikut lomba blog tema Ibu yuk. Ntar tulisannya mau dibukukan lho” ajak adek ketiga saya.

“Mbak, ikut lomba IG. Cukup posting foto Ibu, disertai caption cerita tentang Ibu” ajak adik ketiga di lain kesempatan.

Jawaban saya selalu, “Ntar lah, kalau sempat. Lagi banyak kerjaan nih”.

Pada akhirnya saya selalu melewatkan lomba itu. Bentar, sejujurnya saya berusaha menghindari lomba dengan tema itu.

Tapi namanya takdir, sebisa apapun kita menghindarinya, dia tetap akan menghampiri. Seperti kisah Nobita, yang tahu takdirnya akan ditabrak kendaraan. Dia menghindari jalan darat dan selalu memakai baling-baling bambu saat bepergian. Ternyata, takdir tetap berjalan, Nobita akhirnya ditabrak pesawat..hahaha..

Analogi ini terjadi pada saya. Yah tema arisan blog Gandjel Rel kali ini adalah Ibu. Duh Mbak Chela dan Mbak Noorma membuat saya baper. Makanya, saya baru buat tulisan sekarang. Mau mangkir atau minta ganti tema gak mungkin kan?

Tidak Dekat dan Tidak Jauh

Kenapa saya hindari? Hubungan saya dan Ibu, tidak lah dekat. Tapi tidak bisa dikatakan jauh juga. Saya hanya merasakan kurang adanya kelekatan dengan Ibu. Terasa aneh saja, ketika Ibu tiba-tiba mengelus kepala. Atau merasa kangen curhat dengan Ibu.

Kok bisa seperti itu? Bukan, bukan karena kami sering berantem. Bukan juga karena perbedaan pendapat. Lantas? Jawabannya simple, karena kuantitas, intensitas pertemuan dan komunikasi kami minim.

Sejak kelas 2 SMP, saya tinggal di Kudus, sementara keluarga berada di Makassar. Jaman dulu, ongkos telepon mihil. Kalau mau telepon, numpang telepon kantor. Kebetulan, saat SMP, rumah di Makassar belum ada telepon.

Kondisi seperti itu, membuat komunikasi saya dan Ibu hanya seminggu sekali bahkan bisa sebulan sekali. Papa lah yang lebih sering telepon. Angkutan publik juga mahal, makanya saya paling banter ketemu Ibu hanya setahun sekali.

Terbiasa Sendiri

Tahun 2008, barulah kami berkumpul kembali. Papa sudah pensiun dan memilih Kudus untuk menghabiskan masa tua. Ibu dan Adik terkecil pun tinggal di Kudus. Pelan-pelan hubungan kami terajut. Meski kemudian, saya melanjutkan kuliah di akhir tahun 2008.

Setelah bertahun-tahun berpisah, di masa dewasa saya bisa pulang ke rumah. Berjumpa dengan Ibu dan Papa. Tapi bertahun-tahun jauh dari orang tua membuat saya menanamkan prinsip, saya harus kuat dan mandiri.

Keadaan itu membuat saya kurang terbuka dengan Papa dan Ibu. Ketidak terbukaan ini sering dikeluhkan oleh Ibu dan Papa. Saat adik-adik bercerita tentang kesulitan atau ganjalan yang mereka rasakan. Saya memilih diam. Bukan apa-apa, saya terbiasa menyelesaikan sendiri. Saya terlanjur terbiasa sendiri.

Nilai Ibu Tak Berkurang

Semua pengalaman saya, tidak membuat nilai seorang Ibu berkurang sih. Apalagi setelah saya menjadi Ibu. Saya semakin paham dengan segala perjuangan Ibu. Kehamilan yang bagi sebagian besar Ibu tidaklah mudah, termasuk saya. Selama 4 bulan berjuang menahan mual dan bersikeras tak mau rawat inap, meski muntah berlebihan.

Proses kelahiran yang mempertaruhkan nyawa yang dilanjutkan menyusui dan mengurus bayi 24 jam. Begadang beberapa malam, lapar setelah menyusui dan cemas jika anak sakit.

Saya jadi paham, saat kecil ibu kerap emosi dengan kelakuan kami, saya dan adik-adik. Mengasuh 4 orang anak, tidak lah mudah. Saya 2 saja belum ingin nambah.

Pengorbanan Ibu yang paling besar menurut saya adalah keluar dari pekerjaan. Dulu saya sempat heran dengan kebetahan ibu mengurus kami berempat dan jarang sekali keluar rumah. Rizka kecil juga sempat bertanya, “Ibu tidak ingin kerja lagi? Kok bisa betah sih di rumah?”.

Hingga sekarang pun, Ibu masih menjadi Ibu bagi saya. Keputusan untuk tetap bekerja, membuat saya harus menitipkan duo F kepada Ibu dan Papa. Meskipun ada asisten rumah tangga, tetap Ibulah yang sebagian besar mengurusi mereka terutama Fatih yang sempat berganti ART berkali-kali.

Jadi hubungan saya dengan Ibu, agak unik..hihihi.. Bagi saya sih meski kedekatan saya dan Ibu tidak seperti adik-adik, tapi saya tetap berutang banyak dan hingga akhir seluruh harta yang saya punya tidak bisa membayar segala yang sudah ibu lakukan.

Untuk duo F, saya ingin menjadi Ibu yang ada dan dekat untuk mereka. Meski bekerja, bonding tetap saya jaga. Saya tetap Full Time Mother buat mereka.

Mumpung masih hari Ibu, mari tetap berupaya menjadi Ibu terbaik buat mereka dengan semua keterbatasan yang kita punya. Semua Ibu pasti menyayangi anaknya.

3 komentar:

  1. Aku juga jarang kok cerita segala macam dengan ibuku, Rizka. Didikan alm. bapak yang super keras membuatku dan kakak2ku jadi pribadi yg tdk gampang menceritakan segala keluh kesah pada ortu. Dan sekarang aku tak mau itu terjadi pada anak2ku :)

    BalasHapus
  2. beda dengan saya mbak. kalau saya ada apa2 lagsung cerita ke Ibu saya,

    ohh jadi mbak Rahmi dan mbak Rizka itu nggak bareng yaa...?

    BalasHapus
  3. Meski aku suka crita2 ma ibu n papa, tapi aku malah jarang cerita hal2 tak menyenangkan ke mereka. Keliatannua aku terbuka tapi sebenarnya ngga loh. Aku lbh suka crita2 hal ringan aja sihh kaya flashback2 masa lalu, nostalgia gitu. Oya aku juga takjub ma ibu, ga pernah ya berkeluh kesah bilang bosan di rumah, capek dgn pekerjaan IRT, lagi males masak, dll. Salut.

    BalasHapus

Terima kasih sudah mengunjungi blog ini. Saya senang menerima komentar yang baik dan membangun. Harap tidak meninggalkan link hidup.

Blog Design by Handdriati