Sebagai orang yang hidup nomaden, saya memiliki teman yang bertebaran di pulau Jawa dan Makassar. Saya punya teman di Bandung, Kudus, Solo dan Makassar.
Memiliki banyak teman, sebenarnya menyenangkan. Hanya saya terkadang iri dengan beberapa teman yang punya teman sejak TK atau SD yang bertumbuh bersama hingga dewasa. Saya boro-boro, teman TK saja saya sudah lupa semua. Maklum, selepas TK saya pindah rumah 2x dan dilanjut pindah ke Makassar.
Beberapa teman SD di Bandung masih ingat dan masih berhubungan lewat medsos. Demikian juga dengan teman di Makassar.
Memang saya beberapa kali masih berkunjung ke Bandung, kebetulan Papa masih punya rumah di sana. Meski saya gak bermalam di rumah, lah rumahnya disewa orang. Saat di Makassar pun, saya sempat berkunjung sekali. Usai ujian skripsi, saya pulang ke Makassar. Waktu itu Papa kembali ditugaskan ke Makassar.
Mungkin karena kebiasaan keluarga kami mencari jejak masa lalu, maka saat saya berkunjung kembali saya pun mencari teman-teman masa kecil. Ajaibnya saya masih mengingat jalan menuju sekolah dan rumah teman-teman.
Dalam bersahabat atau berteman, saya tidak pernah pilih-pilih. Status sosial, agama maupun jenis kelamin. Yang terpenting bagi saya adalah kenyamanan dan ketulusan.
Makanya ketika Mbak Agustina dan Mbak Nunung menantang peserta arisan dengan tema sahabat, banyak hal berkelebat di kepala saya. Bagi saya yang nomaden dan sudah berpisah dengan orang tua sejak SMP, sahabat sangat berarti. Ya, merekalah tempat saya berbagi dan saling mendukung. Sisi mana yang akan saya ceritakan?
Sahabat Pria
“Tidak ada yang namanya persahabatan antara pria dan wanita” ujar suami saya di suatu obrolan.
Sebelumnya, saya tidak pernah terpikir dengan pernyataan itu. Pada kenyataannya, saya tipe orang yang bisa berteman dengan pria. Bahkan sebagai murid pindahan, saya termasuk cepat bergaul dengan teman pria.
Sejak SD saya punya teman pria. Ada yang tetangga di depan rumah, di samping rumah dan di ujung jalan. Dengan teman di samping rumah, beberapa kali kami bermain bersama dan bertengkar juga. Teman di depan rumah, kami bermain dan menonton film. Tetangga di ujung jalan, kami main badminton dan memasak bersama. Ada juga beberapa teman sekolah yang main ke rumah.
Saat kelas 1 SMP, saya juga punya beberapa teman pria yang sering berkumpul dan beraktifitas bersama. Nah, saat kelas 2 SMP sampai lulus SMA saya masih berteman dengan pria, hanya sedikit membatasi. Saya agak takut kalau ada teman pria yang main ke rumah. Soalnya, saya tinggal sama si Mbah..hihihi.
Ketika kuliah di Solo, barulah saya merasa bebas berteman dengan pria. Eits, bukan bebas yang pacaran ya. Bebas yang saya maksudkan, bebas saling berbagi, mendukung dan membantu. Saya punya sahabat pria yang 1 kelas. Kuliah bareng, main, makan bahkan saya kerap dijemput untuk menemaninya kuliah saat ia mengulang mata kuliah. Teman 1 organisasi juga banyak. Bahkan beberapa diantaranya, keluarganya saya kenal.
Keuntungan Bersahabat Dengan Pria
Memiliki sahabat atau teman pria menurut saya cukup menguntungkan. Ada saat sahabat wanita saya tidak bisa menemani. Entah itu ada acara atau beresiko mengajak teman wanita untuk menemani saya.
Saat skripsi, saya cukup beruntung memiliki sahabat pria yang belum lulus. Ada yang mengantarkan konsultasi ke rumah dosen. Malam-malam, mana hujan lagi. Atau saat harus keluar malam, saya minta tolong antar sahabat pria.
Terus, apa memang sahabatan pria dan wanita pasti murni atau diwarnai dengan rasa ketertarikan? Saya tak menampik kalau pernah ada rasa dengan sahabat atau teman pria. Demikian pun teman pria pernah ada yang punya rasa terhadap saya. Tapi hingga hari ini kami masih tetap berteman.
Memang untuk sekarang, persahabatan kami tak lagi seperti dulu. Luntang luntung bareng. Berbagi cerita dan kesulitan. Ada perasaan seseorang yang perlu kami jaga. Kami tetap bisa berkirim kabar. Mendukung jika memang dibutuhkan.
Ah, jadi kangen dengan mereka. Bagaimana dengan sahabat pria atau wanita kalian? Masih tetap sahabatan atau sahabat jadi istri atau suami?
Memiliki banyak teman, sebenarnya menyenangkan. Hanya saya terkadang iri dengan beberapa teman yang punya teman sejak TK atau SD yang bertumbuh bersama hingga dewasa. Saya boro-boro, teman TK saja saya sudah lupa semua. Maklum, selepas TK saya pindah rumah 2x dan dilanjut pindah ke Makassar.
Beberapa teman SD di Bandung masih ingat dan masih berhubungan lewat medsos. Demikian juga dengan teman di Makassar.
Memang saya beberapa kali masih berkunjung ke Bandung, kebetulan Papa masih punya rumah di sana. Meski saya gak bermalam di rumah, lah rumahnya disewa orang. Saat di Makassar pun, saya sempat berkunjung sekali. Usai ujian skripsi, saya pulang ke Makassar. Waktu itu Papa kembali ditugaskan ke Makassar.
Mungkin karena kebiasaan keluarga kami mencari jejak masa lalu, maka saat saya berkunjung kembali saya pun mencari teman-teman masa kecil. Ajaibnya saya masih mengingat jalan menuju sekolah dan rumah teman-teman.
Dalam bersahabat atau berteman, saya tidak pernah pilih-pilih. Status sosial, agama maupun jenis kelamin. Yang terpenting bagi saya adalah kenyamanan dan ketulusan.
Makanya ketika Mbak Agustina dan Mbak Nunung menantang peserta arisan dengan tema sahabat, banyak hal berkelebat di kepala saya. Bagi saya yang nomaden dan sudah berpisah dengan orang tua sejak SMP, sahabat sangat berarti. Ya, merekalah tempat saya berbagi dan saling mendukung. Sisi mana yang akan saya ceritakan?
Sahabat Pria
“Tidak ada yang namanya persahabatan antara pria dan wanita” ujar suami saya di suatu obrolan.
Sebelumnya, saya tidak pernah terpikir dengan pernyataan itu. Pada kenyataannya, saya tipe orang yang bisa berteman dengan pria. Bahkan sebagai murid pindahan, saya termasuk cepat bergaul dengan teman pria.
Sejak SD saya punya teman pria. Ada yang tetangga di depan rumah, di samping rumah dan di ujung jalan. Dengan teman di samping rumah, beberapa kali kami bermain bersama dan bertengkar juga. Teman di depan rumah, kami bermain dan menonton film. Tetangga di ujung jalan, kami main badminton dan memasak bersama. Ada juga beberapa teman sekolah yang main ke rumah.
Saat kelas 1 SMP, saya juga punya beberapa teman pria yang sering berkumpul dan beraktifitas bersama. Nah, saat kelas 2 SMP sampai lulus SMA saya masih berteman dengan pria, hanya sedikit membatasi. Saya agak takut kalau ada teman pria yang main ke rumah. Soalnya, saya tinggal sama si Mbah..hihihi.
Ketika kuliah di Solo, barulah saya merasa bebas berteman dengan pria. Eits, bukan bebas yang pacaran ya. Bebas yang saya maksudkan, bebas saling berbagi, mendukung dan membantu. Saya punya sahabat pria yang 1 kelas. Kuliah bareng, main, makan bahkan saya kerap dijemput untuk menemaninya kuliah saat ia mengulang mata kuliah. Teman 1 organisasi juga banyak. Bahkan beberapa diantaranya, keluarganya saya kenal.
Keuntungan Bersahabat Dengan Pria
Memiliki sahabat atau teman pria menurut saya cukup menguntungkan. Ada saat sahabat wanita saya tidak bisa menemani. Entah itu ada acara atau beresiko mengajak teman wanita untuk menemani saya.
Saat skripsi, saya cukup beruntung memiliki sahabat pria yang belum lulus. Ada yang mengantarkan konsultasi ke rumah dosen. Malam-malam, mana hujan lagi. Atau saat harus keluar malam, saya minta tolong antar sahabat pria.
Terus, apa memang sahabatan pria dan wanita pasti murni atau diwarnai dengan rasa ketertarikan? Saya tak menampik kalau pernah ada rasa dengan sahabat atau teman pria. Demikian pun teman pria pernah ada yang punya rasa terhadap saya. Tapi hingga hari ini kami masih tetap berteman.
Memang untuk sekarang, persahabatan kami tak lagi seperti dulu. Luntang luntung bareng. Berbagi cerita dan kesulitan. Ada perasaan seseorang yang perlu kami jaga. Kami tetap bisa berkirim kabar. Mendukung jika memang dibutuhkan.
Ah, jadi kangen dengan mereka. Bagaimana dengan sahabat pria atau wanita kalian? Masih tetap sahabatan atau sahabat jadi istri atau suami?