Rabu, 25 Februari 2015

MPASI BUAH LOKAL ALA MAMA

dokumen pribadi
Hai. Perkenalkan, namaku Raihan Fatih.  Mama dan Ayah memanggilku Fatih. Usiaku 2 tahun 4 bulan. Obsesiku berkaitan dengan kereta api. Makanan kesukaanku buah-buahan. Sekarang aku sudah punya adik laki-laki berusia 3 bulan dan namanya tidak jauh beda denganku, Fattah *Mama memang kurang kreatif.

Aku terobsesi dengan kereta sejak Mama memperlihatkan tayangan kereta api di salah stasiun televisi swasta.  Waktu itu Mama menyebutnya Tutut, untuk memudahkanku menyebut kereta. Maklum saat itu usiaku belum genap 1,5 tahun, jadi masih kesulitan untuk menyebut kereta. Setelah tayangan itu, menurut Mama , aku terus menanyakan tutut. Mama dan Ayah kemudian mencarikan video tentang kereta api. Ketertarikanku bertambah terus, mulai mainan, buku, hingga baju, bahkan saat Mama membelikan Fattah celana kacamata, aku suruh Mama membelikan yang gambarnya kereta..hihihi sedikit memaksa Fattah.

Kalau soal makanan kesukaanku buah-buahan, Ini gara-gara Mama lagi. Iya, Mama memperkenalkanku dengan buah-buahan sejak pertama diberikan MPASI atau makanan pendamping asi. Setelah 6 bulan hanya mengkonsumsi ASI dan ASI perah, Mama memutuskan untuk MPASI perdana Apel Malang. Kenapa Apel Malang? Kata Mama, saat itu aku sedang terserang batuk pilek. Nah, salah satu kandungan vitamin dalam buah apel berfungsi menyembuhkan influenza.

dokumen pribadi
Selama 1 minggu, Mama memberikan MPASI buah-buahan yang setiap 2 hari sekali selalu berganti buah. Mama bilang sih untuk mengetahui reaksi tubuhku, siapa tahu ada alergi. Setelah 1 minggu hanya diberikan MPASI 1x sehari, Mama mulai menambah pemberian MPASI menjadi 2x sehari hingga 3x sehari dengan camilan 2x dalam sehari. Menu MPASI pun mulai bertambah dengan karbohidrat, sayuran dan protein.

Selama 6 bulan, tanpa absen, Mama selalu menyediakan buah-buahan. Setiap bangun pagi, buah pasti sudah siap disantap. Menu cemilan sering juga buah-buahan. Ya Mama kan kadang capek, jadi untuk menu camilan kadang sering mencari yang mudah, sayur kukus atau buah-buahan yang tekstur dan ukurannya disesuaikan dengan kemampuan mengunyahku.

Mama juga lebih suka menyediakan buah-buahan lokal, buah-buahan yang ditanam dan dipanen di Indonesia. Apa saja? Wah banyak banget, ada jeruk, pepaya, duku, matoa, pisang, apel, semangka, jambu, mangga, kelengkeng, rambutan, durian, strawberry dan masih banyak lagi. Semua yang disebutkan tadi merupakan buah kesukaanku.

dokumen pribadi
Apa sih alasan Mama menyukai buah lokal? Berdasarkan wawancara dengan Mama *tsah, ada 4 alasan Mama jatuh cinta dengan buah lokal :

1.       Lebih Segar
Mama bercerita bahwa buah lokal lebih segar dari buah import. Jarak yang tidak terlalu jauh membuat proses pengiriman lebih cepat dibanding buah import sehingga konsumen memperoleh buah yang masih segar.

2.       Aman dikonsumsi
Beberapa waktu lalu Mama pernah melihat berita bahwa buah apel import terkontaminasi bakteri. Wah, untunglah Mama tak pernah membeli apel import. Selain masalah itu, umumnya buah import menggunakan pengawet agar buah tidak cepat busuk. Mama gak mau kalau bahan pengawet itu masuk ke dalam perut anak-anaknya.

3.       Kandungan gizi buah lokal menyesuaikan dengan lingkungan
Umumnya ketersediaan buah lokal di Indonesia menyesuaikan musim. Contohnya pada bulan Januari Mama baru saja mengajakku dan Ayah berburu durian. Bulan Desember dan Januari durian sedang melimpah.  Musim durian kemudian disusul oleh rambutan yang hampir beriringan. Sebelumnya aku juga puas menikmati mangga *rasanya setiap hari makan mangga. Nah, kandungan gizi buah juga menyesuaikan musimnya. Ini sesuai juga dengan kondisi tubuh kita yang tinggal di iklim Indonesia. Jadi menurut Mama dengan mengkonsumsi buah lokal kita memperoleh nutrisi yang lebih sesuai.

4.       Mudah dibudidayakan
Buah lokal pasti lebih mudah dibudidayakan di Indonesia. Tidak perlu perlakuan khusus sehingga orang awam pun mudah melakukannya. Nih, di pekarangan eyang saja, ada pohon rambutan, mangga, pisang, dan durian. Eyang tidak pernah memperlakukan khusus tanaman tersebut. Cukup disiram dan dipotongi daun-daun yang sudah kering, pohon-pohon tersebut berbuah dengan sendirinya.

Kemarin waktu berkunjung di rumah Mbah, ibunya Ayah, aku sempat melihat pohon jambu biji berbuah. Sayang, ternyata buahnya belum matang. Mama lalu berjanji akan membelikan jambu biji. Eh, ternyata keesokah harinya Mama membelikan jambu biji atau jambu kristal .

dokumen pribadi
“Ini gambar apa Mah?” tanyaku sambil menunjuk label berwarna hijau bertuliskan Sunpride.

“Mana? O, ini label Sunpride Mas.” Jawab Mama sambil mengambil jambu biji.

Sambil  mencuci dan memotong buah jambu biji, Mama bercerita bahwa Sunpride berkomitmen menyediakan buah-buahan segar yang 80 % adalah buah lokal. Pada setiap tahap mulai dari proses produksi, kemasan hingga diterima oleh konsumen menggunakan standar international. Jadi Mama tidak kuatir lagi dengan kualitas buah dari Sunpride.

Sambil mendengarkan penjelasan Mama, aku mengambil 1 potong buah jambu. Nyam..nyam..rasanya maknyus., manis dan segar.

dokumen pribadi
Mama kemudian bercerita lebih panjang lagi mengenai kandungan gizi buah jambu. Ada potassium, karbohidrat, protein, vitamin A, C dan E, kalsium dan masih banyak lagi. Manfaat jambu biji ini untuk mengobati diare, batuk bahkan darah tinggi.

Ternyata selain rasanya enak dan segar, buah lokal memang kaya manfaat. Lihat saja aku, kulitku segar, pencernaan lancar, jarang sakit dan tetap langsing #eh.

http://www.sunpride.co.id/name

Sumber :
http://www.sunpride.co.id/
http://health.kompas.com/read/2012/11/08/07464014/mau.lebih.sehat.pilih.buah.lokal
http://sitiasianingsih.blogspot.com/2011/10/segudang-manfaat-apel-hijau-pel.html

Sabtu, 21 Februari 2015

MEREKA BILANG AKU GILA


Penulis : Ken Steele & Claire Berman
Penerbit : Qanita
Cetakan I Tahun 2004
Jumlah halaman : 436 halaman
ISBN : 979-3269-16-2

Kita pernah melihat orang yang berjalan dengan baju yang sudah kumal, badan yang kotor karena berhari-hari tak mandi, tertawa, berbicara sendiri atau diam dengan pandangan kosong. Putus sudah kontak sosial orang tersebut dengan lingkungan sekitar. Biasanya kita menyebut mereka orang gila. Namun sebagian besar dari kita tidak tahu apa yang sesungguhnya mereka alami.

Buku Mereka Bilang Aku Gila adalah memoar dari seorang penderita schizophrenia. Ken Steele di usia 14 tahun mulai mendengar suara-suara yang merendahkan, mengejek dan memerintahkannya untuk bunuh diri.  Keluarganya menolak kenyataan bahwa ia menderita schizophrenia.

Di usia 18 tahun, seperti kebiasaan masyarakat Amerika, Ken Steele diminta untuk mandiri. Ayahnya merasa kewajiban untuk membiayai Ken sudah usai. Berangkatlah Ken menaiki kereta dengan sedikit pemberian uang dari Ayahnya menuju New York.

Sendirian hanya ditemani oleh suara-suara yang terus memerintahkannya untuk bunuh diri dengan terjun dari atas gedung, Ken justru terperangkap dalam dunia prostitusi. Saat ia berlari dari induk semangnya, seseorang menyelamatkan dari usahanya untuk bunuh diri dan membawanya ke rumah sakit jiwa.

Perjalanannya tak berakhir di rumah sakit jiwa. Lukanya bertambah saat ia diperkosa di rumah sakit jiwa.  Ken berulang kali masuk rumah sakit jiwa, diberi kebebasan untuk jalan-jalan bahkan mendapat pekerjaan, namun ia kemudian melarikan diri dari semuanya, mencoba bunuh diri dan kembali berakhir di rumah sakit jiwa.

Saat suara-suara itu tiba-tiba menghilang, ketakutan justru dirasakan oleh Ken. Bagaimanapun, ia telah 32 tahun hidup dengan suara-suara itu. Apakah Ken mampu hidup di dunia nyata?


Buku ini memberikan informasi kepada kita, apa yang dialami dan dirasakan oleh penderita schizophrenia. Informasi tersebut membuka mata bagaimana harus bersikap terhadap mereka. Dukungan dan penerimaan anggota keluarga dan lingkungan sekitar sangat mempengaruhi  kemampuan penderita untuk mampu hidup seperti orang kebanyakan.

Selasa, 17 Februari 2015

IMPIAN YANG SMART

Majalah Edisi 07 (Edar 14 - 20 Februari 2015) Femina
Pengen banget tulisan nampang di sini
Tujuan utama saya ngeblog adalah untuk belajar menulis. Keinginan belajar menulis sudah muncul sejak akhir masa kuliah S1. Suatu ketika saya diminta untuk mengikuti sebuah pelatihan keorganisasian. Salah satu syarat untuk mengikuti pelatihan adalah membuat tulisan bertema keorganisasian *saya sudah lupa pelatihan apa dan tulisannya seperti apa. Karena tidak ada satu pun teman orgnisasi yang bersedia ikut, akhirnya saya ketiban sampur, dipaksa ikut. Hadeh, dalam waktu 3 hari membuat tulisan yang bertema berat, hasilnya acak-acakan dan banyak tulisan yang copy paste dengan buku yang menjadi sumber referensi.

Ketika pelatihan, tulisan yang dibuat peserta kemudian dikomentari oleh penyelenggara. Salah satu komentarnya adalah ada tulisan yang kurang berbobot, dan copy paste dengan buku referensi. Langsung saya merasa komentar itu menyindir tulisan saya.  Pengalaman itu membuat saya ingin belajar menulis.

Keinginan belajar menulis agar mampu membuat tulisan yang berkualitas selama beberapa tahun hanya sekedar menjadi mimpi. Saya sebut mimpi karena belum ada aksi untuk mewujudkannya. Setelah diterima bekerja, keinginan atau impian itu kembali mengusik. Saya mencoba membuat 2 tulisan dan nekat mengirimkan tulisan ke sebuah majalah wanita. Hasilnya? Tak ada kabar hingga kini..hehehe

Tahun 2011, suami membuatkan blog untuk saya isi sesuai dengan tema siaran radio yang saya jalani. Sayangnya, niat saya belum kuat, menganggurlah blog selama 2 tahun lebih. Barulah di awal tahun 2014, blog saya bersihkan dari sarang laba-laba akibat tak pernah saya kunjungi. Seiring waktu, saya semakin aktif mengisi blog, artinya semakin banyak tulisan yang saya buat.

Melihat adik yang sudah lebih dahulu ngeblog dan beberapa tulisanya dimuat di media cetak, impian tulisan dimuat di media cetak kembali menguat. Ya, impian yang ingin diwujudkan di tahun ini adalah tembusnya tulisan di media cetak.  Sederhana ya? Saya memang telah belajar untuk membuat impian yang sederhana namun SMART.

Apa itu SMART? SMART singkatan dari Spesific, Measuareable, Achieveable, Realistic and Timely.

Impian tulisan dimuat di media cetak menurut saya cukup spesifik dan jelas. Impian dapat diukur (measuareable) dengan dimuatnya tulisan di media cetak. Saya juga dapat membayangkan bahwa impian itu dapat dicapai (achieveable) dengan 2 langkah yaitu latihan menulis dan belajar dari tulisan teman-teman yang sudah dimuat. Latihan menulis dilakukan dengan menulis di blog minimal seminggu sekali dan tetap membuat tulisan yang dikirimkan ke beberapa media cetak yang hingga hari ini belum ada kabarnya..hiks. Saya juga sering mencermati tulisan teman-teman blogger yang dimuat di media cetak. Ingin juga sih ikut pelatihan atau workshop menulis, sayangnya kesempatan itu belum ada.

Impian ini juga realistis karena saya membuat tulisan sesuai dengan tema yang saya kuasai. Tulisan yang saya buat seputar psikologi, dunia wanita dan parenting. Target waktu yang ditetapkan adalah di tahun ini. Saya berharap dengan langkah-langkah SMART yang sudah dilakukan, impian dimuatnya tulisan di media cetak dapat diwujudkan. Amiiin.

Selasa, 10 Februari 2015

MAMA TIDAK BOLEH KERJA

"Mas sedih Dek, ditinggal mama kerja"

“Ayah kerja, Mama ga boleh kerja” itu ucapan Fatih saat saya menyampaikan kalau saya sudah harus masuk kerja.

Hampir semua anak pasti menginginkan ibunya menemani kesehariannya di rumah, demikian juga Fatih, anak sulung saya. Meskipun sejak usia 3 bulan sudah saya tinggal bekerja, Fatih masih belum bisa menerima Mamanya bekerja.

Protes Fatih dimulai sejak mendekati usia 1 tahun. Saat saya hendak berangkat bekerja, dia pasti rewel minta digendong sebagai upayanya mencegah saya berangkat ke kantor. Ibu saya sampai menyuruh saya, diam-diam saja berangkat ke kantor. Pulang kantor pun saya mengendap-endap, karena begitu melihat saya, Fatih pasti nempel dan tidak memberi kesempatan untuk sekedar berganti pakaian.

Setelah bisa berjalan, setiap saya akan berganti pakaian kantor, Fatih akan mengambil pakaian dan kerudung yang akan saya kenakan. Dia masukkan lagi ke lemari. Setelah saya siap mau menaiki motor, biasanya sih dia membiarkan saya berangkat ke kantor dengan wajah sedih. Tambah besar lagi, dia bernegosiasi dengan meminta dibelikan makanan terlebih dahulu. Entah itu es krim, coklat, biscuit atau roti.

Nah, karena alasan itulah, setelah 3 bulan saya menikmati gaji tanpa harus bekerja, saya mulai berangkat kantor beberapa hari sebelum cuti habis. Seharusnya saya masuk kerja, hari jum’at tanggal 06 Februari 2015, tapi saya sudah berangkat ke kantor Senin, 2 Februari 2015. Waktu beberapa hari itu digunakan untuk mempersiapkan mental saya dan anak-anak sebelum masa cuti berakhir. Terlebih membiasakan Fattah untuk minum ASIP yang sudah saya simpan di kulkas.

Benar saja, hingga hari ini, Fatih tetap berusaha menghalangi saya bekerja. Hari pertama berangkat ke kantor, Fatih bilang, “Ayah kerja, Mama ndak boleh kerja”. Setelah usaha menjelaskan dan membujuk tidak berhasil, saya bernegosiasi mengajak Fatih ke minimarket untuk membeli makanan. Sampai hari ini negosiasi terus berjalan seperti itu *gaji mama habis Nak untuk negosiasi.

Baru hari pertama ditinggal kerja, eh sore harinya Fatih demam. Panasnya naik turun, sesaat setelah diberi parasetamol turun, beberapa jam kemudian panas lagi. Demamnya Fatih berlangsung hingga Selasa malam. Tapi saya tetap menjalankan rutinitas berangkat ke kantor dan kembali ke rumah siang hari.

Usai demamnya hilang, Kamis malam, Fatih dan Fattah mulai batuk pilek. Hadeuh, rasanya penuh drama. Sabtu pagi, Fatih diperiksakan ke dokter karena batuk pileknya semakin parah, sedang Fattah berhubung praktek dokter anaknya tutup diberikan obat yang sempat diresepkan dokter saat pilek.

Hari Senin, kondisi anak-anak sudah semakin membaik. Drama lain mulai kembali muncul. Siang hari, saya memilih pulang ke rumah untuk makan siang dan menyusui Fattah, tentunya saya harus kembali ke kantor hingga usai jam pulang kantor pukul 15.00 WIB. Saat akan kembali ke kantor, Fatih rewel minta ikut ke kantor. Kemana pun saya pergi di sekitar rumah pasti dibuntuti. Saat akan menaiki motor, Fatih langsung memegang baju atau mengejar saya. Akhirnya saya kembali ke kantor diiringi tangisan Fatih yang minta ikut.

Saya memahami perasaan Fatih yang tidak ingin ditinggalkan. Saya memang tidak pernah meninggalkan anak-anak selain untuk bekerja. Kemanapun saya pergi mereka pasti ikut. Tapi untuk menjadi SAHM atau Stay At Home Mother masih ada pertimbangannya. Pertimbangan utama tentunya alasan ekonomi. Kalau hanya mengandalkan gaji suami, tentu keuangan harus diatur sedemikian ramping. Saat ini, kami juga masih punya cicilan rumah.

Saya pernah menyampaikan kemungkinan SAHM kepada Ayah. Jawaban Ayah, “Terserah, yang penting Mama senang dan bahagia”. Ayah sih sejak sebelum menikah inginnya saya jadi SAHM, tapi setelah menikah dan punya anak, dia menyerahkan keputusan di tangan saya. “Entar kalau Mama di rumah aja malah stress. Gaji ayah cukup gak buat Mama?”.

Saya sih pengennya kayak masa cuti, gaji masuk rekening tanpa harus bekerja. Mungkin gak ya? *dipelototin pak Dekan 

Jumat, 06 Februari 2015

3 CARA UNTUK MENIKMATI HIDUP

Jaman kuliah, usai outbound
Sore hari, di ruang praktek dokter umum yang berlokasi dekat dengan sebuah perguruan tinggi.

“Maksud dokter saya psikosomatis?” tanya saya setengah menahan keinginan teriak.

“Iya, kalau dicek secara jasmani, tidak ditemukan penyakit apapun, kemungkinan besar mentalnya yang sedang sakit. Mungkin karena banyak pikiran, stress dan badannya jadi sakit”, jelas dokter umum yang masih cukup muda itu.

“Iya, saya paham maksud dokter. Tapi saya tidak sedang stress Dok. Iya kalau pernah punya masalah pun ya masalah biasa, tidak terlalu saya pikirkan” elak saya lagi.

“Coba mbak ingat-ingat. Pernah mimpi tentang aktifitas sehari-hari gak? Merasa dikejar waktu, selalu memikirkan hari esok, apa ya yang ingin besok saya lakukan. Akhirnya tidak bisa menikmati hidup. Hidup itu jangan terlalu berlebihan mengejar yang esok. Nikmati dan jalani saja yang ada hari ini” nasihat dokter sambil melihat muka saya yang tidak percaya.

Kira-kira seperti itulah sepenggal dialog saya dan dokter muda tempat biasa saya berobat bila tubuh dirasa tidak nyaman.

Saat itu saya benar-benar menolak diagnosa dokter. Bagaimana mungkin, saya seorang mahasiswa psikologi calon sarjana psikologi didiagnosa PSIKOSOMATIS.

Saya berkonsultasi ke dokter, karena tubuh sering lemas tanpa mengenal tempat dan waktu. Saat berada di kampus, saya tiba-tiba lemas dan pingsan. Saat di jalan, saya merasa oksigen mendadak hilang dan nafas menjadi pendek. Bahkan saya nyaris pingsan usai nobar dengan teman dan kakak senior.

Meski saya menolak dengan keras diagnose tersebut, malamnya saya mimpi tentang kejadian sehari-hari. Bangun tidur, badan tidak segar justru merasa sangat lelah. Saya kemudian merenung dan berpikir lebih jauh ke dalam,”ucapan dokter mungkin ada benarnya”.

Semasa kuliah S1, kegiatan saya memang banyak, mulai dari kuliah, organisasi kampus, asisten pratikum, pelatihan dan ada beberapa kegiatan lain yang saya minati terpaksa dilepas karena tak cukup waktu. Jadwal acara saya padat, bahkan liburan pun saya tak bisa pulang. Saya seperti merasa kelaparan, banyak hal yang ingin dicicipi.

Sayangnya saya tak menyadari bahwa kegiatan itu menekan saya cukup dalam. Jika kegiatan tak berjalan lancar, saya menjadi kecewa. Kekecewaan bertambah dalam kalau penampilan saya kurang maksimal atau gagal, rasanya ingin tenggelam ke dasar laut. Badan pun terzalimi. Meski lelah, saya tetap memaksakan mengikuti kegiatan. Makan pun kadang terlewat, entah karena kurang nafsu, ada kegiatan atau tertidur karena kelelahan.

Jika kekecewaan menghampiri, saya merasa menjadi orang yang serba kurang. Mulai kurang pandai, kurang berbakat, kurang berusaha, kurang cermat dan kurang beruntung sehingga hasil mengecewakan. Rasa kurang inilah yang sering membuat saya membenci diri diri sendiri bahkan menyalahkan Tuhan karena memberikan dan membiarkan kekurangan saya.

Ucapan dokter muda tersebut, menampar sekaligus menyadarkan saya. Ternyata selama ini saya kurang mencintai diri sendiri. Saya kemudian merenung lebih dalam dan melakukan self healing. Ada beberapa hal/cara yang saya dapatkan :

  •  Tidak ada yang instan, semua butuh proses. Ya, saya sering baru melakukan 1 atau 2 pekerjaan maunya langsung sukses. Misal baru sekali jadi moderator maunya langsung lancar berbicara di hadapan peserta. Sekarang aja, baru beberapa kali mengirimkan tulisan ke media, ingin langsung dimuat hahaha.
  • Tidak perlu menyalahkan siapa pun bila hasil mengecewakan. Saya sering nih, menyalahkan diri sendiri bahkan kadang orang lain terseret juga, hadeuh. Penting dilakukan adalah tidak berhenti belajar dari pengalaman.
  • Tak lupa bersyukur. Seringnya kekecewaan datang karena selalu melihat ke atas. Sesekali perlu juga melihat ke bawah untuk mengetahui bahwa kita masih lebih beruntung. Bentuk syukur lainnya adalah dengan mendekatkan diri kepada TUHAN dan selalu berbagi kepada sesama di saat memperoleh kenikmatan.
Tiga cara itulah yang saya lakukan ketika rasa kecewa datang. Seiring waktu, saya lebih mampu menerima kekecewaan, lebih mencintai diri sendiri dan berdamai dengan diri sendiri sehingga hidup pun dapat saya nikmati.

Minggu, 01 Februari 2015

MENGEJAR KERETA KE SOLO

Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri 
Engkau bisa menjadi seperti mereka tapi jangan coba menjadikan mereka sepertimu
Karena hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula berada di masa lalu 
Engkau adalah busur-busur tempat anak-anak panah yang hidup diluncurkan


(Anak-anakmu, Kahlil Gibran)

Sabtu, 31 Januari 2014 kemarin, kami mengantarkan yangkung menengok teman, sekaligus guru ngajinya di Solo. Yangkung sudah 37 tahun tidak bertemu dengan pak Zaki, nama temannya. Seminggu yang lalu yangkung mendengar kabar bahwa pak Zaki sakit cukup parah.

Saya kemudian menyampaikan rencana Yangkung ke Solo kepada Ayah. Eh, si Ayah malah bersedia mengantar ke Solo, sekalian jalan-jalan. Artinya saya, Fatih dan Fattah juga turut serta. Ayah malah berniat menginap di Villa Batu Solo Baru. Welah, wong yangkung mau mengajak ponakan, mas I’an dan pak Mukhlas, kakaknya pak Zaki turut serta.

Awalnya Yangkung sedikit kuatir dengan keikutsertaan Fattah. Maklum usia Fattah belum genap 3 bulan. Pikirnya yangkung hanya Fatih dan Ayahnya saja yang ikut ke Solo. Tapi si Ayah gak mau, takut Fatih rewel di jalan dan mencari Mamanya. Akhirnya Yangkung setuju Fattah diajak serta melihat kemantapan saya dan Ayah.

Saya berani ajak Fattah, karena selama ini Fattah relative tenang jarang rewel dan menangis. Selain itu, kami berkendara dengan mobil pribadi sehingga lebih fleksibel dan bebas dari asap rokok, salah satu hal yang paling saya benci dari kendaraan umum.

Jadilah kami berangkat dari jam 7.00 WIB, molor 30 menit dari rencana. Setelah menjemput mas I’an dan pak Mukhlas, kami segera meluncur ke Solo. Sepanjang perjalanan Fatih sudah berkicau saja.

“Ma, ke Solo. Naik tutut (baca : kereta) listrik Ma”, seru Fatih berulang-ulang.

“Iya Nak, sabar. Solo itu jauh, sekitar 3 jam. Mas Fatih bobok saja dulu, entar bangun sudah sampai Solo” ujar saya menenangkan Fatih.

Kami memang berencana mengajak Fatih naik Pramex dari Purwosari – Balapan – Purwosari. Sejak awal, saya sudah mencari informasi tentang stasiun Purwosari. Informasi dari seorang teman, Stasiun sudah direhab. Untuk memasuki stasiun dan melihat kereta api dari dekat hanya penumpang kereta api saja yang diperbolehkan, pengantar atau pengunjung hanya sampai di loket depan.

Sesampai di Solo, Ayah disibukkan dengan mencari alamat yang minim informasi. Alamat yang diketahui pak Mukhlas hanya desa sumber tringkil atau sumber tringkilan dan belok kiri setelah lapangan. Ingatan pak Mukhlas juga tidak dapat diandalkan, beliau mengaku kalau sudah lama tidak mengunjungi adiknya. Alhamdulillah setelah 30 menit bertanya ke sana kemari Ayah menemukan juga kediaman pak Zaki.

Usai menjenguk dan dipaksa makan siang, kami segera melanjutkan perjalanan ke stasiun Purwosari. Ayah mencari arah menuju stasiun dengan bantuan GPS di handphone miliknya. Hujan mengiringi perjalananan kami sejak berencana meninggalkan rumah pak Zaki.

Setiba di stasiun, Ayah dan Fatih keluar mengejar kereta yang datang menembus gerimis. Tak lama kemudian, saya menyusul setelah menitipkan Fattah ke Yangti. Kami bertemu di pintu masuk stasiun. Jadwal kereta terdekat pukul 13.30 WIB sementara waktu menunjukkan jam 12.50 WIB. Sambil antri di depan loket, saya memperoleh informasi dari mbak-mbak yang antri kalau kereta dari purwosari lamgsung menuju ke Yogya tidak ke Balapan dulu kemudian kembali ambil penumpang di Purwosari. Waduh, kalau mau ke Yogya kasihan yang lain menunggu kami terlalu lama dan belum jaminan perjalanan pertama Fatih cukup tenang hingga sampai Yogya.

Akhirnya kami putuskan untuk mengejar kereta di Balapan. Rencananya saya dan Fatih akan naik kereta dari Balapan dan dijemput Ayah di Purwosari. Setiba di Balapan, saat antri di depan loket, loh karcis untuk jadwal keberangkatan pukul 13.30 WIB habis, yang dibuka untuk jam 14.30 WIB. Waduh, masih menunggu lebih dari 1 jam. Berat hati, kami putuskan untuk menunda rencana naik kereta. Kasian yang lain.

Fatih jelas kecewa dan rewel, dia ga terima kalau tiket habis. Saya tak menduga adanya perubahan kebijakan, memang informasi yang saya gali sangat minim. Saya kemudian berjanji lain kali saja atau naik kereta di Mall. Sekarang sih dia sudah menerima kalau rencana naik kereta tertunda, meski bangun tidur langsung bercerita tentang kereta.

Sebenarnya kami hanya memfasilitasi ketertarikan Fatih terhadap kereta sembari tetap memperkenalkan hal yang lain. Sama seperti ucapan Kahlil Gibran, kami hanyalah busur yang mengantarkan anak panah kepada tujuannya. Rencana berikutnya, Ayah akan mengajak naik kereta PP Purwodadi- Semarang. Semoga rencana ini berjalan lancar.

Blog Design by Handdriati