Jumat, 21 Februari 2014

BE ASSERTIVE, PLEASE


(taman vertikal yang diidamkan)

Seminggu yang lalu, saya sedang jengkel. Pasalnya, rumah yang tengah dibangun, sudah sebulan lebih, mandeg, seminggu terakhir malah tanpa alasan yang jelas. Sebelumnya saya sudah mencoba berkomunikasi, alasan yang dikemukakan masih masuk akal, hujan yang mengguyur Kudus cukup deras, bahkan membuat sebagian wilayah terendam banjir.

Acara banjir sudah lewat, saya mencoba menanyakan kembali kapan akan dilanjutkan. Jawabannya  “secepatnya, begitu cuaca mendukung”. Memang sih, hujan kadang-kadang masih turun. Setelah beberapa hari Kudus cerah, saya tanyakan lagi, tidak ada jawaban. Sms tidak dibalas, HP dihubungi pun jawabannya dialihkan.

Akhirnya saya ‘mangkel’. Suami pun meminta bantuan keluarga untuk menanyakan kepada mandornya, kebetulan mandornya masih keluarga suami. Setelah di desak oleh kakak ipar, terkorek juga keterangan dari mandor. Rupanya uang yang kami setorkan sudah habis, dia juga menghadapi kendala belum menemukan material bagian atap rumah kami.

Weleh, lah kok gak ngomong terus terang. Padahal, saya sudah menanyakan berulang kali mengenai ketersediaan uang. Soal kendala atap rumah kan bisa dibicarakan. Mungkin karena masih ada hubungan saudara, jadi ada rasa sungkan untuk berterus terang.

Ini, yang paling bikin saya illfill. Kenapa gak asertif aja sih?. Asertif adalah kemampuan mengkomunikasikan perasaan, pikiran dan keinginan kepada orang lain tanpa merasa cemas atau sungkan. Teknik untuk menyampaikan tentu saja dengan menjaga dan mempertimbangkan baik dan buruknya sikap dan perilaku yang akan ditampilkan.

Jadi gak setiap kita menyampaikan sesuatu itu dikatakan asertif, kalau menyampaikannya dengan tujuan untuk menjatuhkan atau dengan cara agresif tentu tidak bisa dikatakan asertif.

Saya sih, tidak bertujuan menceritakan keburukan seseorang, hanya ingin mengambil hikmah dari kejadian itu. Coba seandainya, mandor yang membangun rumah berterus terang, masalah lebih mudah diselesaikan, saya pun tidak akan mengembangkan praduga buruk.

Memang saya tipe orang yang tidak suka berbelit-belit, lebih suka praktis dan langsung ke sasaran. Contohnya nih, jaman muda dulu, dua atau tiga tahun yang lalu *yang ini jelas mendiskon tahun* beberapa kali ada cowok yang memberikan sinyal mendekati. Saya paling males nih, kalau acara mendekati berjalan sangat panjang dan lama, kayak iklan produk makanan anak-anak.

Apa yang saya lakukan? Saya mencoba proaktif dengan menanyakan kepada cowok-cowok itu *biar kesannya banyak yang mendekati* apa yang tengah terjadi.

Ada yang menjawab, biar waktu yang menjawabnya, masih butuh proses untuk ke sana. Ya elah, lama amat sih.

Ada juga yang meminta waktu untuk mengutarakan isi hatinya pada saat yang sudah dianggap tepat. Malah ada yang nembak lewat telepon, saya bilang kalau mau jawabannya ketemu langsung saja. Pas ketemu, yaelah, saya juga yang memulai percakapan untuk membahas perasaan dia.

Kesannya malah saya yang ngotot ya?. Ya itu tadi, saya pengen segala sesuatunya lebih jelas dan gamblang. Saya gak pengen mereka-reka perasaan mereka, supaya tau saya bagaimana harus mengambil sikap.

Tapi beneran lho, gak asertif itu rugi. Nyatanya ada juga cowok yang mendekati dengan jalan ‘melipir’, gak saya tangkap maksudnya. Setelah saya mau nikah sama suami, baru terungkap kalau dia naksir sebenarnya naksir saya sejak lama. Katanya saya, gak mudeng-mudeng. Oalah, dia yang ga asertif atau saya yang tulalit ya..hahaha…

1 komentar:

  1. hai mak Rizka, assalaamu'alaikum, salam kenal ya ^^
    iya mak, sama kaya saya..saya juga gregetan dgn orang yg ga to the point, byk basa-basi menyampaikan maksud malah bikin gemes..

    BalasHapus

Terima kasih sudah mengunjungi blog ini. Saya senang menerima komentar yang baik dan membangun. Harap tidak meninggalkan link hidup.

Blog Design by Handdriati