Sabtu, 19 Agustus 2017

TERPUKAU ORANG DI BALIK TOTO CHAN

Sejak SD, sejak lancar membaca, saya sering meminjam komik di taman bacaan dekat almamater. Atau main ke rumah teman yang langganan majalah Bobo dan punya komik.

Maklum, kami dulu jarang-jarang beli buku. Tak pernah juga langganan majalah Bobo. Paling banter beli Bobo bekas di pasar baru. Seingat saya dulu pernah langganan majalah Aku Anak Sholeh, itupun kayaknya sempat berhenti langganan.

Padahal saya suka sekali membaca. Kalau tidak ada bacaan anak-anak, saya membaca koran, tabloid langganan ibu atau Tempo langganan Papa. Bayangin, waktu kecil rubrik favorit saya malah kriminalitas hiiii.

Saya tak punya genre khusus soal bacaan. Roman, komedi, sastra, misteri bahkan sejarah yang dikemas sebagai novel. Bergambar ataupun hanya tulisan asal memiliki alur yang bagus tak jadi soal. Yang jadi soal, baca buku pelajaran. Entah kenapa bisa berhari-hari bahkan bulanan..hihihi..

Makanya, saya tak berani membuka buku fiksi kalau belum ‘selo’. Begitu tertarik, saya tak bisa lepas. Rasanya ingin diselesaikan saat itu juga.

Setiap membaca buku yang bagus terutama misteri, saya selalu berdecak, “Hebat banget penulisnya. Bisa membuat alur pemikiran dan bahasa yang bagus”. Atau kalau cerita berkaitan sejarah, penggalian datanya yang saya acungi jempol, KEREN. Saya tidak terlalu favorit sih baca cerita roman. Sesekali saja untuk melepaskan kejenuhan.

Ada satu buku yang tidak pernah saya lupakan. Buku yang membekas hingga sekarang. Buku yang pada akhirnya saya beli saking sukanya.

Buku yang pastinya menginspirasi sebagian besar orang. Makanya saat Mbak Vita Pusvitasari dan Mbak Anita Lusiya Dewi melontarkan tema arisan blogger “ Buku Favorit” saya langsung teringat Totto Chan Gadis Cilik di Jendela.

Saya membaca buku ini saat tahun terakhir di S1. Saat itu, saya menginap di rumah sahabat. Dia menawarkan buku itu. Mumpung lagi selo, saya mengiyakan. Tak sampai satu hari, buku itu pun selesai saya baca.

Lah kok cepat banget? Iya begitulah. Kalau sudah baca, aktivitas seharian selain membaca ya sholat. Kalau sudah lapar banget baru makan.

Pertama kali membaca langsung tertarik. Semakin dalam, saya langsung angkat topi buat 2 orang pendidik dalam buku itu. Ibu Totto Chan dan Kepala Sekolah Kereta Api, Pak Kobayashi.

Buku ini mangangkat kisah nyata dari penulisnya, Tetsuko Kuroyanaki yang kemudian dipanggil Totto Chan. Latarnya adalah selama Perang Dunia ke II di Jepang.

Dikisahkan Totto Chan, seorang anak kecil yang dikeluarkan dari sekolah. Kebiasaannya yang unik, diantaranya memandang keluar jendela lama-lama, menunggu rombongan pemusik jalanan dan membuka tutup meja secara berulang-ulang dipandang aneh oleh gurunya.

Ibu Dengan Hati Seluas Samudera

Ibu Totto Chan adalah orang pertama yang menginspirasi. Sikap Ibu Totto Chan yang berbesar hati menerima semua perilaku anaknya membuat saya tertegun. Tak ada sedikit pun, sikap marah atau mengecilkan perasaan Totto Chan. Dengan semangat, Ibu Totto Chan mencari sekolah yang sesuai dengan anaknya.

Penerimaan ibu Totto Chan menginspirasi saya yang kelak menjadi seorang Ibu kala itu. Makanya saat hamil anak pertama, saya sampaikan kepada suami, bahwa kondisi apapun dari anak yang akan dilahirkan harus diterima. Anak adalah titipan dan setiap anak pun unik.

Pak Kobayashi, Kepala Sekolah Terbaik

Saya sulit menggambarkan sesuatu yang spesifik untuk Pak Kobayashi. Sebagai kepala sekolah yang membuat dan menetapkan kurikulum, jalan pemikirannya sungguh luar biasa. Pak Kobayashi mampu menciptakan suasana kelas yang menarik. Aturan dan sistem yang dibuatnya membebaskan, memudahkan dan membentuk tanggung jawab.

Dalam satu kelas, anak dibebaskan untuk belajar menurut keinginan mereka. Mereka belajar untuk fokus dengan yang dipelajari tanpa menganggu teman lain.

Bekal yang dibawa sangat mudah, sesuatu dari gunung dan sesuatu dari laut. Hal ini membuat anak belajar untuk menemukan sesuatu dari gunung dan laut. Tidak juga membatasi makanan tertentu.

Suatu kali, Totto Chan yang penuh keingintahuan, mencari dompetnya yang terjatuh di dalam jamban. Ia mengeluarkan semua isi jamban keluar untuk menemukan dompetnya. Tanggapan kepala Sekolah sungguh luar biasa, ia hanya meminta Totto Chan untuk mengembalikan semua seperti sedia kala saat aktifitas Totto Chan selesai.

Sungguh, orang tua dan gurulah pendidik anak. Sikap ortu dan gurulah yang menentukan masa depan anak. Sering kan seorang anak membenci pelajaran tertentu karena pengajarnya tidak menyenangkan? Bukan karena pelajaran itu sendiri. Atau anak bermasalah, biasanya karena lingkungan rumahnya pun bermasalah.

Kisah ini sebagai pengingat saya yang berperan sebagai Mama bagi duo F dan lingkungan pekerjaan saya di pendidikan. Sudahkah kita bisa seperti mereka?

3 komentar:

  1. Banayk yang suka buku toto chan,ini, jadi penasaran pengen baca juga 😊

    BalasHapus
  2. Saya juga sukaaa banget dg buku ini. Ada seri 2 nya ya penhen bacaaa

    BalasHapus
  3. Jamban itu bukannya wese ya Riska?
    Aku belum kesampaian nih baca buku Totto Chan, penasaraaaann...

    BalasHapus

Terima kasih sudah mengunjungi blog ini. Saya senang menerima komentar yang baik dan membangun. Harap tidak meninggalkan link hidup.

Blog Design by Handdriati