![]() |
Sumber |
Tanggapan atas keputusan keluarnya salah satu anggota
bermacam-macam. Ada yang menyayangkan ada juga yang mengatakan mentalnya tak
cukup kuat.
Tulisan saya ini sebenarnya agak telat. Istilahnya sudah
kehilangan momen. Tapi saya sengaja menunggu redanya emosi para Emak *ngeles.
War-waran diantara
para emak atau ibu, sepertinya sudah lama terjadi, jauh sebelum saya aktif
berselancar di dumay, mencari informasi mengenai kehamilan, kelahiran dan
pengasuhan anak. Komentar pedas dari para ibu pun sepertinya sulit dibendung.
Group menyusui AIMI
dan TATC yang saya ikuti, admin sudah sering mengingatkan untuk berkomentar
yang baik, santun dan bila sudah ada yang berkomentar hal yang sama, anggota
lain diminta untuk menahan diri, biar postingan lain tidak tenggelam. Tapi,
mungkin rasanya seperti kulit yang gatal, sulit rasanya utuk tidak menggaruk.
Menggaruk itu rasanya nikmat, meski setelah menggaruk kulit terasa sakit..iya
kan?
Parahnya bukan masalah postingan yang tenggelam, tapi salah
satu pihak menjadi tersudut. Akibatnya bukan solusi atau hal positif yang
didapat, justru perasaan sakit diantara anggota yang muncul. Nah, tulisan saya
kali ini menyoal cara berkomentar atau mengedukASI yang santun.
Saya, ibu bekerja yang pro ASI. Ilmu tentang persiapan ASI
sejak kehamilan, kelahiran hingga menyusui selama 2 tahun, sudah saya baca dari
file di group. Nyatanya, beberapa hal tidak bisa saya lakukan. Saya gagal IMD,
baik yang pertama dan yang kedua. Saya gagal ASIX untuk anak pertama saya.
Terakhir, saya memakai media dot untuk kedua anak saya selama ditinggal kerja.
Berdasarkan pengalaman saya menyusui beserta kegagalannya.
Ada beberapa hal menjadi catatan, bahwa masalah ASI itu tidak hanya terkait
oleh si Ibu, tapi juga dukungan lingkungan sekitarnya. Catatan lain, kondisi
setiap Ibu dan lingkungannya juga berbeda.
Kondisi Ibu Tidak
Sama
![]() |
Fatih |
Setiap ibu memiliki kondisi fisik dan mental yang tidak sama
dan tidak bisa disamakan. Maksudnya bagaimana? Sudah menjadi kunci, bahwa
seorang Ibu haruslah sehat untuk bisa menyusui dan mengasuh anaknya. Menyusui
itu bukan perkara mudah, butuh fisik dan mental yang kuat dan sehat.
Saat menyusui Fatih, energi saya benar-benar terkuras. Fatih maunya mimik terus. Setelah tertidur saat mimik,
pelan-pelan saya tidurkan di kasur, eh dia bangun lagi. Fatih pun sering
mengajak begadang. Mulai jam 9 malam hingga jam 3 pagi, dia menyusu tak
henti-henti, dilepas sebentar untuk sekedar minum, ngemil dan ke kamar mandi,
eh, Fatih dah nangis kejer. Saya sampai uring-uringan dan merasa terteror
dengan kondisi ini. Badan saya capek mengikuti ritme tidurnya. Pikiran saya
terkuras, gara-gara memikirkan perilakunya. Belum lagi membaca komentar teman
yang lain.
“Kok anaknya seperti itu. Anakku gak tuh, kalau malam mau
tidur. Kalau seperti itu, bagaimana ASInya mau berkualitas”, kurang lebih
seperti itulah komentar yang saya dapatkan *makjleb.
Teman dekat saya yang melahirkan 2 hari sebelum saya, tidak
sanggup diajak anaknya begadang. Anak kami sama-sama laki-laki dan entah kenapa
perilakunya juga sama. Akhirnya dia menyerah memberikan ASI diselingi sufor
saat dia tidak bisa menyusui anaknya.
Ada lagi, teman dekat yang satu sekolah semasa SMA. Katanya
ASInya sama sekali tidak keluar, padahal dia sudah mencoba berbagai macam cara.
Sampai ketiga anaknya terpaksa diberi sufor semua.
![]() |
Fattah |
Kondisi Lingkungan
Ibu Tidak Sama
Lingkungan yang saya maksud, mulai dari suami, orang tua,
keluarga besar, rumah sakit dan sekitarnya. Kenapa saya gagal IMD? Pertama,
karena kondisi fisik saya yang tidak memungkinkan. Kedua, karena di rumah sakit
tempat saya melahirkan, tidak melayani IMD setelah SC. Kok saya tidak memilih
rumah sakit lain? Karena itu rumah sakit terdekat dan dilewati oleh angkutan,
sehingga memudahkan orang tua saya kalau mau berkunjung. Saya juga sudah merasa
cocok dengan dokternya, meski rumah sakitnya tidak pro IMD.
Kenapa saya gagal ASIX untuk Fatih? Karena, saya masih kagok menyusui serta gagal rawat
gabung. Suami saya belum berani memegang Fatih. Padahal saya belum bisa turun
dari tempat tidur. Syaratnya rawat gabung, bayi diurus oleh keluarga, termasuk
ganti popok. Diambil oleh perawat kalau mau mandi pagi dan sore. Alhamdulillah,
pas Fattah lahir, suami sudah pede memegang bayi dan saya pun sudah terampil menyusui.
Kenapa saya menggunakan media dot?Karena saya bekerja, dan
ibu yang menunggui Fatih dan Fattah lebih nyaman menggunakan dot. Daaan..saya
tidak bisa memaksa. Sejak Fatih berusia 8 bulan, dia sudah menolak dot, jadi
saya menyarankan ibu menggunakan sedotan. Fattah hingga sekarang masih
menggunakan dot. Saya sudah menyarankan untuk mengganti sedotan. Tapi saat
diberikan sedotan oleh pengasuhnya, ditengah sesi minum ASI Fattah menangis,
jasi kembali ke dot lagi deh.
Teman saya, ada juga yang terpaksa e-ping. Memberikan ASInya
dari hasil perahan karena anaknya tidak mau menyusu secara langsung. Awalnya
karena dia termotivasi untuk memerah dan fatalnya hasil perahan bukannya
disimpan buat tabungan saat bekerja, malah diberikan ke anaknya lewat dot,
padahal dia masih cuti. Dia juga beberapa kali konflik dengan ibunya karena si
ibu merasa ASI anaknya tidak cukup dan hal-hal lain lagi.
Sebenarnya dari cerita pengalaman di atas, saya mau bilang
kalau kondisinya tidak sama Bu. Selain kondisi si Ibu, belum tentu suami juga
seiya sekata. Suami seiya sekata belum tentu juga ortunya mendukung. Terus kalau
suami tidak seiya sekata mosok ya suami mau direshuffle? Kalau ibu dan bapaknya tidak mendukung, lantas mereka berantem? Hasilnya, yang kasihan si Ibu. Makanya perempuan atau ibu itu rentan stress,
terutama setelah melahirkan. Kadang bukan hanya baby blues tapi berlanjut ke postpartum
depression. Ibu yang baru saja melahirkan membutuhkan dukungan. Nah kalau
keluarga kurang mendukung ditambah komunitas ibu-ibu juga malah menyalahkan,
bagaimana perasaan ibu tersebut?
![]() |
Fatih 5 bulan |
MengedukASI tentu harus dilakukan dengan penuh empati dan membantu. Kalau ilmunya belum sampai, kita sampaikan dengan santun dan berdasarkan fakta. Kalau terbentur dengan permasalahan,, empati perlu dikedepankan kemudian bantulah memecahkan masalah. Keputusan tetap di tangan ibu. Pro ASI bukan berarti harus anti Sufor kan?
Setelah melahirkan Fatih, saya mungkin sempat mengalami baby blues. Saya sempat 9 hari berjuang untuk mengenyahkan dot. Diakhir cuti, kuatir dengan kondisi
Fatih saat nanti saya tinggal bekerja. Ibu saya memilih untuk
menggunakan dot, saya takut kalau Fatih bingung putting lagi. Seorang teman
dumay saya, sebutlah Mbak Sekar *nama sebenarnya, menenangkan saya,”Gak apa-apa
Mbak. InsyaALLAH gak apa-apa. Anak saya juga pakai dot. Lah mau bagaimana lagi.
Kita kan membutuhkan bantuan orang tua. Kita tidak bisa memaksa. Bersyukur
orang tua mau mengawasi anak saat kita bekerja”.
Akhirnya kecemasan saya pun menurun, saya menjadi lebih adem
dan bisa memandang dari sudut lain. Iya, saya berhutang dengan kedua orang tua
yang mau mengawasi anak-anak saya selama saya bekerja. Terus ada yang komentar
lagi, “makanya gak usah bekerja, harta paling berharga kok dititipkan, bukan
dijaga sendiri”.
![]() |
Fattah 5 bulan |
Duh, perang tak pernah usai T.T